Saya besar di Kabupaten Pelalawan, sejak saya masih di TK tahun 1997 hingga saya hampir menyelesaikan kuliah, asap akibat kebakaran hutan lahan masih saja terjadi. Waktu itu, ibu selalu membekali saya sapu tangan sebagai ganti masker. Pelalawan masih sepi, mendapatkan masker tidaklah segampang sekarang.
Pernah kejadian, ketika itu kampung kami mengalami kemarau panjang. Sumur galian kering. Air sangat sulit, sampai untuk mandi saja saya dimandikan di rumah tetangga yang sumurnya belum kering. Cuaca panas sekali. Hutan dan lahan terbakar dimana-mana. Semua orang ikut padamkan api. Ayah juga bilang helikopter dari Malaysia pun turut membantu.
Asap mengepul dimana-mana. Saya ingat ketika itu ibu menjemur pakaian jam 6 pagi dan diangkat jam 6 sore. Waktu itu belum ada mesin cuci. Kain sama sekali tidak kering. Matahari tertutup asap tebal. Angin tak pula ada. Kampung kami sangat gelap.
Ketika hujan turun, kemarau dan asap berakhir semua orang disekitar rumah mengeluarkan barang-barang. Ada yang menyiram tanaman, mencuci kendaraan, menjemur tilam, bantal, pakaian, kursi bahkan menjemur bayinya. Semuanya seolah-olah merindukan matahari dan air.
Kabut asap yang meresahkan masyarakat di pulau Sumatera berada dipuncaknya pertengahan Maret tahun 2014 lalu. Ribuan titik panas terdeteksi dalam satu hari, ribuan pula murid sekolah diliburkan juga ribuan masyarakat terjangkit ISPA. Bahkan ada pula para pekerja swasta yang dievakuasi ke provinsi tetangga. Selain itu bandara di Pekanbaru lumpuh berhari-hari, diikuti dengan provinsi tetangga di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jambi yang terpapar asap dari Riau. Kualitas udara memburuk, rata-rata di atas 300 PSI. Sangat berbahaya, bahkan Riau tidak layak huni lagi, kata spesialis paru-paru. Ini tercatat sebagai musim asap terparah sepanjang sejarah. 18 tahun berlalu, kebakaran hutan lahan serta asap terus terjadi. Berkali-kali ganti kepala daerah bahkan presiden, semuanya seolah tak serius urusi persoalan ini.
Selasa, di minggu kedua September tahun ini kami kunjungi nenek di Kampar. Asap sudah menyeluruh di Riau. Dari Pelalawan, Pekanbaru hingga Kampar ia sangat pekat. Jarak pandang sangat terbatas. Malamnya, ayah mendadak sakit. Dadanya sesak. Tenggorokan perih. Batuk-batuk, serta pusing. Saya dan ayah sudah langganan sakit ketika musim asap. Biasanya batuk berbulan-bulan, bahkan saya pernah dilarikan ke UGD akibat sesak nafas.
Tahun lalu Jokowi blusukan asap di Sungai Tohor Riau. Ia berjanji untuk menuntaskan persoalan asap dan kebakaran hutan lahan. Pun beberapa oknum bahkan perusahaan sudah ditindak, tetap saja kabut asap merata diseluruh kabupaten kota. Meski pemerintah Indonesia baru-baru ini menggelar reformasi penting untuk mengatasi beberapa masalah tersebut, pelaksanaannya tetap lemah. Target Jokowi 2015 bebas asap pun gagal. Kedatangan Jokowi tahun ini di Sumatera Selatan juga mengatakan hal yang sama ketika di Sungai Tohor. Cabut izin dan pidanakan pembakar hutan dan lahan.
Pembakar hutan dan lahan gambut hanya ada dua jenis: KORPORASI dan CUKONG PERAMBAH. Cukong biasanya pemodal besar bahkan punya relasi dengan korporasi dan elit politik, yang membiayai rakyat miskin untuk bakar hutan dan lahan. “Mereka” ada dimana-mana atau mungkin pernah diundang ke istana.
Saya menuntut, sebagai seorang mahasiswa Riau serta korban asap sejak tahun 1997 hingga 2015 untuk mendapatkan hak saya menghirup udara yang bersih. Menuntut Presiden Jokowi dan Menteri Siti Nurbaya menuntaskan persoalan asap dan kebakaran hutan lahan. Masyarakat Riau kehilangan banyak haknya, sementara “mereka” berleha-leha. Kami butuh udara yang sehat. Tolong kembalikan hak kami atas udara yang bersih! Tolong cegah kebakaran hutan lahan! Bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati? Atau kami mati dulu baru diobati?
Salam,
Rahmi Carolina
Mahasiswa Riau
Petisi Kembalikan Hak Masyarakat Riau Atas Udara Yang Bersih!
Komentar
Posting Komentar