Langsung ke konten utama

Menuju Pengelolaan Kawasan Adil dan Lestari, Rimbang Baling Uji Coba Sistem Canggih.



Oleh: Rahmi Carolina
 

Rimbang Baling adalah salah satu lanskap yang saat ini sedang diperhatikan oleh banyak pihak. Pasalnya beberapa waktu lalu akun facebook Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memposting hasil foto camera trap yang setelah 12 tahun lamanya menuai hasil di lanskap Rimbang Baling. Hasil foto tersebut memperlihatkan seekor harimau jantan mendekati seekor harimau betina. Kurang dari 7 menit, perkawinan kedua harimau ini pun terekam pada 1 Juni 2017 lalu.

Tentu saja perkawinan sepasang harimau tersebut membawa harapan baru disamping menurunnya populasi harimau. Keberadaan harimau dalam satu abad terakhir di dunia berkurang dari 100.000 menjadi hanya 3.200 individu di alam. Harimau menjadi salah satu target negara-negara wilayah sebarannya, dengan dukungan masyarakat dan organisasi internasional untuk pemulihan populasinya berdasarkan Global Tiger Summit di St. Petersburg, Rusia tahun 2010 lalu. 

Sedangkan Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) merupakan sub spesies terakhir dari jenis harimau yang pernah ada di Indonesia. Dua kerabatnya, Harimau Bali (P. t. balica) dan Harimau Jawa (P.t. sondaica) sudah lama tidak ditemukan jejak dan keberadaannya. Harimau Bali telah dinyatakan punah sejak tahun 1940-an sedangkan saudaranya yaitu Harimau Jawa dinyatakan sudah tak terlihat lagi sejak tahun 1980-an. 

Di Sumatera bagian tengah, WWF Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta didukung oleh relawan dari universitas dan masyarakat lokal telah melakukan pemantauan populasi dan habitat harimau sejak 2004 hingga saat ini. Berdasarkan studi yang dilakukan, Rimbang Baling telah tebukti menjadi kawasan berbiak bagi harimau. 

Sunarto, National Tiger Species Cordinator WWF Indonesia mengatakan, saat ini Rimbang Baling diperkirakan dihuni oleh sekitar 20 individu dewasa harimau. Jumlah tersebut diperkirakan dapat ditingkatkan, bila tingkat perburuan dan gangguan dapat ditekan.

Hewan predator ini adalah salah satu indikator penting ekosistem yang sehat. Rusaknya ekosistem tidak hanya berdampak pada kepunahan harimau, tetapi juga hilangnya keanekaragaman hayati.

Di lanskap yang mencakup Provinsi Riau dan Sumatera Barat ini kaya akan keanekaragaman hayatinya. Bagi beberapa universitas, Suaka Margasatwa Rimbang Baling dianggap sebagai laboratorium alam yang menyiadakan banyak hal untuk diteliti. Beberapa universitas yang pernah melakukan penelitian disana ialah Universitas Riau (UR), Universitas Nasional (UNAS), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gajah Mada (UGM). Karena terletak di tengah sumatera, kawasan ini juga menjadi kunci keberlanjutan ekosistem bagi Riau dan Pulau Sumatera.
"Lanskap Rimbang Baling penyuplai air untuk kehidupan di Sumatera bagian tengah"


“Rimbang adalah menara air yang akan menyelamatkan kehidupan ekosistem,  masyarakat Riau dan sekitar jika ia terus terjaga”, kata Ujang Holisudin Kasi Perencanaan BBKSDA Riau.

Dalam pertemuan pada pembahasan hasil penilaian efektivitas pengelolaan kawasan Rimbang Baling, Ujang menyebutkan beberapa target yang menjadi tujuan besar Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau di Rimbang Baling. Diantaranya adalah menargetkan kawasan Rimbang Baling sebagai kawasan konservasi harimau. Selain itu juga melibatkan stakeholder dalam pengelolaan kawasan. Kedua hal ini tercantum pada visi misi pengelolaan kawasan yang lestari dan berkeadilan.

Parameter METT dan CATS
Untuk menjaga kelestarian dan pemulihan populasi Harimau Sumatera perlu adanya komitmen dan upaya dari berbagai pihak. Salah satunya melalui pengelolaan kawasan habitat utama harimau secara efektif.
Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia sebelumnya telah mengadopsi Management Effectiveness Tracking Tool (METT) sebagai perangkat untuk melacak serta mengukur tingkat efektifitas pengelolaan. BBKSDA Riau sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan penilaian secara rutin terkait pengelolaan kawasan konservasi di Riau dengan menggunakan perangkat METT. 

Sejalan dengan itu, untuk pengelolaan kawasan konservasi yang merupakan habitat utama Harimau Sumatera telah dikembangkan sebuah perangkat baru yaitu Conservation Assured Tiger Standard (CATS). Ia telah diterapkan di beberapa negara pemilik harimau, namun di Indonesia sendiri penerapannya masih perlu dilakukan uji coba. 

CATS merupakan perangkat atau sistem yang dikembangkan oleh berbagai pihak untuk membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, khususnya untuk mendukung upaya konservasi harimau. 

CATS dibangun dan dikembangkan sebagai tindak lanjut komitmen global untuk pemulihan populasi harimau. Merespon kondisi harimau yang populasinya menurun tajam dan mencapai titik kritis, pada tahun 2010 telah diselenggarakan pertemuan puncak pemimpin dunia di Rusia. Pada saat itu, semua negara pemilik harimau yang hadir menyepakati untuk menyelamatkan harimau melalui upaya peningkatkan populasi harimau global menjadi dua kali lipat dari kondisi tahun 2010. 

Untuk mencapai target tersebut, banyak hal yang perlu dilakukan, antara lain mengendalikan perburuan, dan meningkatkan efektivitas pengelolaankawasan konservasi. Hal tersebut tentu dapat dicapai dengan meningkatkan investasi atau penggalangan sumberdaya, maupun dengan melakukan realokasi sumberdaya dan menggunakannya secara lebih terarah. 

“Perangkat seperti CATS dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi potensi, ancaman dan respon yang telah, sedang maupun perlu dilakukan”, Kata Sunarto.

Tujuan dengan adanya perangkat CATS ialah untuk mengetahui kawasan yang penting bagi harimau tersebut telah mencapai standar minimum pengelolaan melalui proses penilaian dan peninjauan yang dapat dipercaya dan independen.

Selain itu CATS juga memiliki manfaat bagi masing-masing pihak, seperti untuk sistem kawasan lindung nasional ialah membantu penetapan garis dasar, memfasilitasi pengelolaan adaptif dan perbaikan terus menerus suatu pelaksanaan. 

Bagi manajer kawasan lindung atau bagian kawasan lindung nasional, bisa dijadikan alat pendemonstrasian kepentingan dan peran kawasan lindung dalam usaha global untuk melipat gandakan jumlah harimau. Untuk manajer kawasan konservasi harimau, sangat membantu dalam mobilisasi dukungan yang dibutuhkan dalam penyediaan sumber daya dan kapasitas yang penting untuk konservasi harimau yang efektif. 

Lalu untuk penjaga hutan (ranger) kawasan lindung, mampu memberikan mereka indikasi yang jelas akan standar profesional yang tinggi, meningkatkan prospek karir dan moral. 

Sedangkan untuk pemerintahan negara daerah jelajah harimau, menunjukkan komitmen dalam usaha konservasi harimau global dan untuk menyediakan informasi yang telah diverifikasi untuk kewajiban pelaporan di bawah CBD dan kesepakatan regional dan global lain yang sama.

Pada komunitas konservasi global, memberikan pemahaman pentingnya kawasan lindung konservasi harimau dan mengidentifikasi serta memonitor tingkat pengelolaan dan dukungan untuk kawasan lindung ini.

Sementara manfaat untuk komunitas donor, mampu menilai kesungguhan dan profesionalisme pengelolaan dalam kawasan lindung atau pun dalam sistem kawasan lindung, untuk membantu meningkatkan penyebaran dana dan menargetkan strategi konservasi yang paling mungkin berhasil. 

Selain itu, ia juga membantu pendukung konservasi harimau memahami tingkat kualitas pengelolaan jaringan, konservasi kawasan lindung dan kontribusinya untuk konservasi harimau. Serta untuk konservasi harimau sendiri, mampu menetapkan standar minimum untuk konservasi harimau dalam konservasi kawasan lindung dan menyediakan pengukuran objektif untuk keefektifan.

Uji coba penerapan CATS telah diawali di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling oleh BBKSDA Riau dan stakeholders melalui serangkaian seminar dan workshop pada Juni 2017 lalu. Acara tersebut dihadiri oleh perwakilan dari perusahaan yang bersinggungan dengan Rimbang Baling, Forum HarimauKita , Konsorsium Imbau terdiri dari WWF, Yapeka dan Indecon, serta Forum Masyarakat Subayang. 

"Tim riset harimau WWF Central Sumatera"
Perbedaan CATS dan METT
Untuk memastikan peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, selama ini telah dikembangkan Management Effectiveness Tracking Tool (METT). Perangkat ini telah diendorse oleh Lembaga Konservasi Dunia (IUCN) untuk peningkatan pengelolaan kawasan konservasi.  Perangkat ini juga telah diadopsi dan diterapkan secara sistematis dan intensif oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penilaian METT dilakukan melalui kuesioner yang diisi oleh pengelola kawasan. Perangkat METT cukup baik untuk menilai efektivitas pengelolaan kawasan secara umum. Namun, perangkat ini belum sepenuhnya dapat mengukur efektivitas pengelolaan kawasan dengan tujuan khusus, seperti untuk konservasi harimau. 

“CATS merupakan pengembangan dari METT dan perangkat lainnya, untuk mendukung upaya pemulihan harimau secara akuntable yang mengedepankan peran multipihak”, jelas Khalid Pasha, Management CATS.

CATS, selain penting bagi masyarakat sebagai daerah tangkapan air dan fungsi ekosistem lainnya, Rimbang Baling merupakan kawasan yang sangat penting dan strategis dalam konservasi harimau Sumatera. Kawasan ini menjadi tempat berbiak yang penting bagi harimau. Selain itu, kawasan ini juga menjadi habitat penghubung bagi bentang alam harimau penting lain yang ada di sekitarnya. Tanpa keutuhan Rimbang Baling, kesinambungan habitat dan populasi di sekitarnya tidak dapat dijamin. 

Sunarto menjelaskan bahwa, meski pun penting untuk harimau dan memiliki banyak nilai strategis lain, pengelolaan kawasan Rimbang Baling selama ini masih sangat minim. Ia menyebutkan CATS diyakini dapat menjadi perangkat untuk meningkatkan pengelolaan Rimbang Baling. Tentu juga untuk mendukung populasi harimau dengan mengedepankan peran masyarakat sekitar dan pihak-pihak terkait agar target tercapai.

Terakhir Sunarto menuturkan target WWF Indonesia sebagai mitra bersama BBKSDA Riau, pengelolaan Suaka Margasatwa Rimbang Baling adalah untuk konservasi harimau, keanekaragaman hayati dan ekosistem yang mengedepankan peran aktif dan co-benefit bagi masyarakat yang didukung oleh pihak terkait.

Sementara, rekomendasi hasil uji coba penilaian sementara CATS di Rimbang Baling setelah pertemuan tersebut telah dikirim BBKSDA Riau ke Kementerian LHK sebagai bahan pertimbangan untuk penerapan CATS, serta untuk meningkatkan nilai kawasan dalam perangkat METT.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekasam Ikan Subayang

Oleh: Rahmi Carolina Pekasam ikan merupakan salah satu produk ikan awetan yang diolah secara tradisional. Ia dilakukan dengan metode penggaraman yang dilanjutkan dengan proses fermentasi. Biasanya pekasam menggunakan ikan air tawar dengan rasa sedikit masam ketika sudah jadi. Di Riau sendiri khususnya di Rimbang Baling, Kampar Kiri Hulu olahan masakan ini cukup dikenal. Konon kabarnya, pekasam ikan ini dilakukan agar ikan awet lebih lama, food safety. Ia pun menjadi makanan simpanan jika satu waktu terjadi kesulitan mencari bahan pangan. Sebab dimasa itu belum ditemukan cara pengawetan dengan tekhnologi menggunakan pendingin bersuhu di bawah nol derajat celcius, seperti kulkas. Kamu penasaran? Mari kita coba! Bahan: 1.       1kg ikan Lilan (ikan air tawar dari Subayang) 2.       ½ canting beras 3.       1 bungkus garam kasar 4.       3 helai daun kunyit Cara membuatnya: 1.       Siangi ikan dan cuci bersih. 2.       Sangrai beras hingga berwarna cokla

Data Nyastra Sarongge

Judul : Sarongge Penulis : Tosca Santoso Penerbit : Dian Rakyat Tahun terbit : September 2012 Tebal buku : 370 halaman Sebuah novel fiksi pertama karya Tosca Santoso. Direktur Utama KBR68H ini sudah 20 tahun lebih menjadi seorang jurnalis. KBR68H kantor berita radio independen terbesar di Indonesia. Melayani berita dan program-program radio berkualitas untuk 900 radio lebih di Indonesia, serta 9 negara di Asia dan Australia terhitung hingga saat ini. Selain itu ia juga   menjadi Direktur Utama Green Radio dan Tempo TV. Sarongge adalah tempat angker yang dihuni roh-roh jahat. Begitu kata sebuah catatan usang penulis Belanda. Sisi lain, warga setempat bercerita kalau Sarongge adalah makhluk jejadian. Berkepala manusia, tetapi berbadan kuda seperti halnya dongeng Yunani, Centaurus. Namun sayang belum ada warga yang pernah bertemu makhluk tersebut. Sehingga tak ada gambaran lebih jelas atau hanya seonggok cerita turunan dari nenek moyang mereka.

Melepas Kutukan Melalui Perempuan

Oleh: Rahmi Carolina Tanggal 9 Desember merupakan Hari Anti Korupsi Internasional. Beberapa spanduk tentang peringatannya berdiri rapi di bibir jalan Sudirman. Kabarnya, Riau mejadi tuan rumah dalam momentum tersebut. Mungkin ia terpilih karena kisah kelam dimasa lalunya sebagai daerah rawan korupsi. Di Indonesia, berbicara soal korupsi sudah seperti makanan sehari-hari. Hal itu terbukti dari banyaknya pemberitaan di media yang menyoroti kasus tersebut. Selalu saja ada dan seolah tanpa jeda. Bahkan untuk Riau sendiri saat ini disebut sebagai daerah yang memiliki angka korupsi tertinggi. Lantas disusul oleh daerah Aceh, Sumatera Utara, Papua dan Papua Barat. Tentu saja pencapaian yang diperoleh Riau seolah kutukan untuk marwah melayu. Sumber: Google Sejak KPK berdiri, tercatat sudah 25 orang pejabat di Riau tersangkut kasus korupsi. Tingginya kasus korupsi di Bumi Lancang Kuning tampak dari terjeratnya tiga Gubernur dalam tiga periode berturut-turut. Ketiganya ditahan KP