Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

I'm Tired of Being Made Sick by This Smoke

Blogpost by Greenpeace International 22 year old Indonesian student, Rahmi Carolina has spent her entire life living with the haze. Each year, as the fires rage and grow more intense, so does she. So she's using social media and doing something about it. Elementary students under a heavy haze in Central Kalimantan province, Borneo Island When I was young my friends and I would visit our local river, just a short walk from our small town in Pangkalan Kerinci, upstream of Riau's peatland coast in Sumatra. On days when we needed to cool down from the heat, we would spend hours swimming and getting lost in the shade of the trees, chasing birds and sleeping. My parents instilled in me the importance of the environment. Growing up, forests fascinated me – how trees nurture and protect us, the beauty of bark, the way in which roots weave like tangled hair knots. But deep down, I've always had a foreboding feeling about forest fires. For the past 18 years during the

Garda Depan Yang Terlupakan

Anggota Damkar Pelalawan padamkan api di lahan gambut. MEREKA memulai sekitar jam 9 malam dari kantor menuju titik api. Lokasinya tak jauh dari Kompleks perkantoran bupati. Hutan akasia itu terbakar. Api cepat merambat karena tumpukan daun-daun kering. Tebal sekali. Persis di belakang lapangan upacara. Di lapangan itu muda mudi berkumpul. Bercengkrama dan reuni.  Sekitar 8 pemadam beserta 6 polisi sudah berada di lokasi. Tatataass.. tasss.. duaarr.. duaarrrr… Suara takbir terdengar samar tertimpa suara petasan dari lapangan. Bahkan Hambali Danru dua, yang saat itu tengah berkumpul dan takbiran bersama keluarganya pun turut memadamkan api. Paginya, hari lebaran pun tiba. Sesaat lengang. Lebih dari separuh penduduk Riau memilih berlebaran bersama sanak saudara di kampung halaman. Atau hanya sekedar berkumpul bersama keluarga dan orang-orang tersayang. Tetapi rasanya hal tersebut tidak berlaku bagi semua orang. Beberapa profesi mengharuskan untuk tetap siaga meski di Har

Rahmi: Mereka Punya Hak Hidup Bebas di Alam dengan Tenang

Oleh:  Zakwan Asrari Hampir setengah tahun kebakaran hutan berlangsung di daerah Sumatera. Bencana tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, kesehatan, dan korban jiwa, tapi juga dampak lingkungan yang serius. Tarbijah Islamijah Media mewawancarai salah seorang aktivis lingkungan, Rahmi Carolina Sembiring untuk menceritakan kondisi di daerah Riau saat ini. Kabut asap dari kebakaran, berdampak langsung kepada masyarakat. Kegiatan sehari-hari pun terganggu, bahkan sekolah pun sempat diliburkan untuk mengantisipasi para siswa terjangkit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Sampai saat ini, kebakaran hutan masih belum teratasi meski pemerintah telah melakukan berbagai tindakan. Untuk menghentikan perluasan kebakaran di kerahkan helikopter dan juga pesawat bom air di titik api. Di samping itu diterjunkan juga personil TNI untuk membantu dan membuat sekat pada kanal-kanal penahan air agar lahan gambut tetap basah, hingga perluasan di harapkan bisa diminimalisir. Berikut p

Kami Tidak Diam! Kami Terus Melawan!

Ibu Menteri dan Bapak Presiden, tahun lalu kabut asap datang dua kali dalam dua musim. Padahal biasanya ia hanya datang sekali. Namun tahun ini ia datang berkali-kali. Saya sempat berpikir bahwa tahun lalu adalah tahun terparah. Nyatanya tahun ini malah lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Indeks Standar Polutan Udara di Kota Pekanbaru menunjukkan level berbahaya hingga berhari-hari. Kualitas udara buruk sekali, bahkan dua hingga tiga kali lipat di atas ambang berbahaya. Sejak Agustus, Pekanbaru dan sejumlah daerah kabupaten kota mulai terpapar rata oleh asap tebal. Saya lalu teringat janji Bapak Presiden ketika blusukan asap di Sungai Tohor tahun lalu. Bapak bilang bahwa asap kebakaran hutan dan lahan akan berkurang drastis di tahun 2015. Namun nyatanya semua tak semudah yang diucapkan. Pelaksanaan dan masalah teknis di lapangan mungkin sangat lemah. Bahkan untuk menetapkan status darurat asap saja sulit sekali. Ibu Menteri dan Bapak Presiden, asap memburuk sejak awal Septe

Kembalikan Hak Masyarakat Riau Atas Udara Yang Bersih!

Saya besar di Kabupaten Pelalawan, sejak saya masih di TK tahun 1997 hingga saya hampir menyelesaikan kuliah, asap akibat kebakaran hutan lahan masih saja terjadi. Waktu itu, ibu selalu membekali saya sapu tangan sebagai ganti masker. Pelalawan masih sepi, mendapatkan masker tidaklah segampang sekarang. Pernah kejadian, ketika itu kampung kami mengalami kemarau panjang. Sumur galian kering. Air sangat sulit, sampai untuk mandi saja saya dimandikan di rumah tetangga yang sumurnya belum kering. Cuaca panas sekali. Hutan dan lahan terbakar dimana-mana. Semua orang ikut padamkan api. Ayah juga bilang helikopter dari Malaysia pun turut membantu. Asap mengepul dimana-mana. Saya ingat ketika itu ibu menjemur pakaian jam 6 pagi dan diangkat jam 6 sore. Waktu itu belum ada mesin cuci. Kain sama sekali tidak kering. Matahari tertutup asap tebal. Angin tak pula ada. Kampung kami sangat gelap. Ketika hujan turun, kemarau dan asap berakhir semua orang disekitar rumah mengeluarkan barang-ba

Kumpulan Puisi "Tuan Pa"

Prateek Dhiman/net Tuan Pa I Bagai ranting yang terhempas Bagai pipit dalam angin Bagai Toman di dasar alam Ingin kutahu kabarmu! Tuan Pa II Aku tak takut Bunian hanya karena Sendiri di dalam hutan Aku pun tak takut kesepian Atau kelunya kekosongan Aku hanya resah Sudah lama kau tak kirimi senyuman Tuan Pa III Saat badai ke rumah Malam sudah tinggi Ia begitu buas Dinginnya menusuk tulang Aku tegak dari kasurku Memandang luar yang abu-abu Halo, bisakah kau tak menyelak selimut kekasihku? Rahmi Carolina 2015

Tanam Pondasi Sejak Dini

Sore itu sekiranya matahari masih menyalak di Desa Muara Bio, saya dan Trilis juga bersama tiga anak desa itu duduk di pinggir sungai. Kami main air sambil cakap-cakap. Mereka adalah Nisa, Arsi dan Delima. Mereka seumuran. Mereka sekolah di SDN 012 Batu Sanggan, Kampar Kiri Riau. SD tersebut satu-satunya sekolah yang ada disana. Tujuh orang pengajar beserta perangkat sekolah dan siswanya yang hanya berjumlah duabelas orang. Bagaimana tidak, di desa itu hanya ada 33 Kepala Keluarga. Biasanya setelah tamat SD anak-anak melanjutkan sekolah di desa lain. Namun hal tersebut tak pula menyulutkan semangat mereka untuk bersekolah. Desa Muara Bio Waktu itu Delima bilang air sungai Subayang jernih, segar, enak kalau berenang. Apalagi berenangnya dimulai dari loncat di atas batu besar lalu menyelam sampai ke dasar. Iya itu benar, saya juga merasakan hal yang sama. Muara Bio dikelilingi sumber air yang bersih. Ia disimpangi oleh dua sungai, Subayang dan Bio. Coba bayangkan bagaimana seruny

Diolog Tengah Hati

Siang ini benar aku tak ingin tidur. Dialog kita tengah malam itu terus mengusar pikiranku. Berkali terus terulang kata-katamu. Ia berputar tanpa pusing. Tapi aku pusing. Pusing Pusing Pusing Pusing Bisikan itu bikin bising. * Sebagian dari diriku macam hilang. Atau barangkali aku telah menjadi aku yang baru. Aku asing memandang diri sendiri. Seringkali aku merasa menjelma menjadi orang lain, tapi aku bukan siluman, bunian atau teman mereka yang lain. Aku yang lalu seperti punah diburu penguasa. Aku hilang tertanam entah dimana. Tapi jasatku terkatung di hadapanmu. Kemana aku? Aku dibunuh? Aku membunuh? Kenapa aku? Untukmu; Puan Puaka Aku marah Kulanjutkan hidup yang telah kau ubah Aku tak lagi berumah Kau bunuh aku dengan gagah Puah! Puah! Jangan jilat nanah (Arifin Ahmad, 26Agustus'15)