Anggota Damkar Pelalawan padamkan api di lahan gambut. |
MEREKA memulai sekitar
jam 9 malam dari kantor menuju titik api. Lokasinya tak jauh dari Kompleks
perkantoran bupati. Hutan akasia itu terbakar. Api cepat merambat karena
tumpukan daun-daun kering. Tebal sekali. Persis di belakang lapangan upacara. Di
lapangan itu muda mudi berkumpul. Bercengkrama dan reuni.
Sekitar 8 pemadam beserta 6 polisi sudah
berada di lokasi. Tatataass.. tasss.. duaarr.. duaarrrr… Suara takbir terdengar
samar tertimpa suara petasan dari lapangan. Bahkan Hambali Danru dua, yang saat
itu tengah berkumpul dan takbiran bersama keluarganya pun turut memadamkan api.
Paginya,
hari lebaran pun tiba. Sesaat lengang. Lebih dari separuh penduduk Riau memilih
berlebaran bersama sanak saudara di kampung halaman. Atau hanya sekedar
berkumpul bersama keluarga dan orang-orang tersayang. Tetapi rasanya hal
tersebut tidak berlaku bagi semua orang. Beberapa profesi mengharuskan untuk
tetap siaga meski di Hari Raya. Seperti damkar, mereka hanya akan pulang ketika
api benar-benar padam.
Jam sudah menunjukkan kearah angka
11 siang. Mereka segera pulang menjumpai keluarga dan bermaaf-maafan. Muhammad
Saherman bilang, ini tahun ke tiga ia tak melaksanakan salat idul fitri.
Menjelang lebaran ada saja lahan yang terbakar.
Muhammad Saherman salah satu damkar yang saya kenal.
Kami memanggilnya Sael. Kulitnya sawo matang, sebab itu di kantor akrabnya ia
di sapa Pak Itam. Umurnya 22 tahun. Setelah tamat SMA kami hanya sempat bertemu
dua kali. setiap ada kesempatan reuni, ia selalu sibuk di lapangan dengan api.
Sael putra daerah di Kabupaten Pelalawan. Sejak awal
2013 ia mengabdi sebagai tenaga honor pemadam kebakaran di BPBD Damkar
Kabupaten Pelalawan, Riau. Banyak kisah yang ia tuturkan sejak ia bekerja
disana. Mulai dari pengalamannya memadamkan
rumah yang terbakar, sekolah, tempat makan, bengkel dan lahan.
Kesemuanya sangat menantang dan punya kesulitan masing-masing. Ia menyukai
pekerjaan ini, mulanya ia bilang ini hanya sekedar mencari uang. Namun seiring
jalannya waktu ia bilang pekerjaan ini adalah panggilan dari jiwanya.
M. Saherman dan nozzle, alat pemadam api. |
“Tak usah bicara soal mencintai lingkungan atau
penyelamatan bumi dulu. Ini soal kampung. Siapa lagi kalau bukan kita yang
menjaga kampung kita sendiri. Lagi pula ini juga satu bentuk penyelamatan
bumi,” jelas Sael.
Hal yang sangat memacu adrenalin menurutnya ketika
ia dan teman-temannya diturunkan untuk memadamkan api di lahan dan hutan yang
terbakar. Ada kepuasan dan kebahagiaan tersendiri ketika berhasil.
Di bulan 9 lalu hampir semua kecamatan di kabupaten
Pelalawan terbakar. Bahkan saat pemadaman di Kuala Panduk, mereka harus ngecamp selama dua minggu. Tim dipecah.
Sebagian lagi siaga.
Pada kenyataannya memadamkan api di
lahan sangat sulit. Terlebih lagi di lahan gambut. Di
Sumatera, Provinsi Riau miliki lahan gambut terluas dengan luasan sekitar 4
juta hektar lebih. Kira-kira 56 persen dari luas keseluruhan gambut di Sumatera
serta 45 persen luas daratan Provinsi Riau. Ia menjadi golongan tertinggi
kandungan karbon tanah gambut di seluruh Sumatera bahkan se-Asia Tenggara. Jika
telah terbakar, maka kebakaran di lahan gambut cenderung sulit dipadamkan
karena api merembet di dalam tanah bukan di permukaan. Sulutan api akan
sambung-menyambung dan sangat sulit dipadamkan jika telah terlanjur menyebar
kemana-mana.
Selain sulit memadamkannya
akses jalan pun susah. Mobil tak bisa masuk ke dalam hutan. Jalur harus dibuat
dahulu. Semak-semak ditebas. Gerak harus lebih cepat sebelum api menyebar lebih
luas. Kalau angin kencang, api beterbangan dimana-mana.
Sael menjelaskan suka duka
mereka selama di lapangan. Pernah waktu itu di Desa Pangkalan Kulim, mereka
harus berenang untuk menyebrangi kanal. Kira-kira selebar anak sungai. Lahan
terbakar tepat diseberang kanal tersebut. Alat-alat macam dividing, nozzle dan mesin
yang beratnya mencapat 60kg dipikul. Hambali yang saat itu menyandang dividing di kiri kanan bahunya mencoba
berjalan. Awalnya dangkal, namun tiba-tiba kakinya tak lagi memijak dasar. Dividing semakin berat jika terkena air.
Ia nyaris tenggelam.
Tim Damkar mengangkat alat di atas rawa gambut. |
Menjadi
petugas pemadam kebakaran, kata Sael, tidak lantas membuatnya kebal akan segala
hal, termasuk perasaan sedih. Pernah satu ketika rasanya ia dan rekan-rekan sudah
sangat kebut sekali ke lokasi api, namun sampai disana mereka malah dimaki. Api
lebih cepat melahap dari pada kedatangan mereka.
Ada
pula cerita rekan lainnya, waktu itu baru selesai memadamkan api. Tiba di rumah
istri mereka marah karena pulang dengan pakaian yang sangat kotor. Lantas
mereka disuruh merendam pakaian sendiri. Sael bilang hampir semua rekan
merasakan hal yang sama. padahal para istri tidak tau kalau suami mereka bekerja
mati-matian.
Saya
melihat foto-foto dan video mereka saat padamkan api di lahan. Pun beberapa
diantara mereka ada yang menggunakan masker, masker tersebut tak pula standar.
Mereka hanya menggunakan masker biasa. Sael bilang menggunakan masker N95
sangat sesak, apalagi ketika basah terkena air.
Betapa
bahayanya pekerjaan ini, seolah-olah mereka mengorbankan diri mereka sendiri.
Sael sangat berharap nantinya akan diberi bantuan masker standar macam full face yang juga akan melindungi
mata. Atau masker yang memiliki penyaringan udara.
Di
pertengahan bulan Sembilan lalu api juga menyala di Rantau Baru. Asap mengepul
dimana-mana. Api besar sekali. Waktu itu 15 personil diturunkan, diantaranya
juga ada Hadi Penandio Kepala Pelaksana BPBD Damkar dan Henky Irawan Kasi
Kedaruratan. Saat itu menurut BMGK angin mengarah ke timur. Mereka datang dari
arah barat. Namun tiba-tiba angin berputar dan berbalik mengarah ke barat.
Semuanya terkepung. Perlu waktu 30 menit untuk keluar dan menyelamatkan
alat-alat di dalam lokasi. Sael pun muntah-muntah saat itu. Beberapa orang
lainnya lemas.
BPBD Damkar Pelalawan Foto bersama setelah berhasil menjinakkan api di lahan terbakar. |
Tahun ini
memang kabut asap terparah sepanjang sejarah. Ia pun menjadi puncak kemarahan
setiap orang yang menjadi korban. Namun dibalik hiruk-pikuk saling menyalahkan
dan saling hujat para pembakar lahan, beberapa orang mengorbankan nyawanya
untuk memadamkan api di lahan dan hutan yang terbakar. Mereka mungkin tidak
pernah mendapat apresiasi, tapi setidaknya kita tak perlu mencaci. Karena kita
tau bahwa api tidak pernah mati sendiri.
(Rahmi Carolina/Freelancewriter)
Komentar
Posting Komentar