Judul :
Sarongge
Penulis : Tosca Santoso
Penerbit : Dian Rakyat
Tahun terbit : September 2012
Tebal buku : 370 halaman
Penulis : Tosca Santoso
Penerbit : Dian Rakyat
Tahun terbit : September 2012
Tebal buku : 370 halaman
Sebuah novel fiksi pertama karya Tosca Santoso.
Direktur Utama KBR68H ini sudah 20 tahun lebih menjadi seorang jurnalis. KBR68H
kantor berita radio independen terbesar di Indonesia. Melayani berita dan
program-program radio berkualitas untuk 900 radio lebih di Indonesia, serta 9
negara di Asia dan Australia terhitung hingga saat ini. Selain itu ia juga menjadi Direktur Utama Green Radio dan Tempo
TV.
Sarongge adalah tempat angker yang dihuni roh-roh jahat. Begitu kata sebuah catatan usang penulis Belanda. Sisi lain, warga setempat bercerita kalau Sarongge adalah makhluk jejadian. Berkepala manusia, tetapi berbadan kuda seperti halnya dongeng Yunani, Centaurus. Namun sayang belum ada warga yang pernah bertemu makhluk tersebut. Sehingga tak ada gambaran lebih jelas atau hanya seonggok cerita turunan dari nenek moyang mereka.
Sarongge nama sederhana, menyimpan segumpal kisah yang
begitu gelap. Mulai dari kemiskinan masyarakat turun-temurun, ledakan penduduk
yang menerobos hingga lereng pegunungan, perjuangan petani kecil melawan para
penguasa, juga harapan mengembalikan hutan Jawa Barat seperti sediakala dengan
program adopsi pohon dari Green Radio.
Sarongge sedianya adalah sebuah desa di kaki Gunung Gede, Kecamatan Cipanas, Jawa Barat. Kira-kira hanya beberapa kilometer di sebelah barat daya Istana Cipanas. Terletak di ketinggian 1500 mdpl, Sarongge masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Disitulah, Karen Hidayati, gadis seorang aktivis lingkungan di organisasi Ksatria Pelangi, bertemu kembali dengan Husin petani gunung, sahabat lamanya saat mereka kuliah dulu. Pertemuan singkat di madrasah kampung, menumbuhkan kembali rasa yang pernah ada pada Husin. Kegagumannya terhadap Karen yang tentulah Karen sudah tahu sedari dulu. Tapi dia tak punya banyak waktu untuk menanggapi. Perhatian Karen tersita oleh hutan-hutan yang menyeretnya ke dunia antah-berantah. Apalagi setelah berkenalan dengan organisasi Ksatria Pelangi, organisasi yang membuka matanya pada kesewenang-wenangan manusia. Kuasa dan modal yang mengoyak hutan. Ia larut pada penelitian dan aksi menjaga hutan. Walaupun akhirnya rasa hangat pelan-pelan menjalar pada hati Karen. Tentang Husin, yang lepas tamat kuliah memilih cara hidup berbeda. Meninggalkan kenyamanan kelas menengah dan dengan sengaja memutuskan teguh pilihannya untuk berkembang bersama warga Sarongge. Dia punya gagasan, sederhana dalam pilihan. Husin tabah menanggung risiko dari pilihannya itu. Hal itu membangkitkan rasa kagum yang alamiah pada Karen. Mereka kembali merangkai cerita, dan mulai memupuk cinta di kampung kelahiran Husin, Sarongge.
Karen, seorang wanita pemberani, setengah hidupnya telah ia habiskan bersama Ksatria Pelangi. Menjelajah daerah pesisir Kampar hingga Papua untuk melawan kapitalisme yang terus menggerogoti lingkungan dan masyarakat yang hidup darinya. Karen telah mengabdikan seluruh jiwa dan raganya untuk membela bumi. Hingga pada akhirnya menikah dengan Husin. Awal bulan Juli, di dalam hutan Pasir Pogor Buntu kampung Sarongge. Pada saat pohon bunga Ki Hujan berguguran. Mereka menghabiskan malam disana. Berdua diterangi bulan purnama. Kelopak daunnya rontok berputar seperti kincir dan lembut menyentuh tajuk-tajuk pepohonan lain. Musim gugur khas Sarongge yang hanya terjadi setahun sekali.
Tiga tahun setelah itu mereka dikaruniai dua orang anak. Anak itu titipan ustad Maarif, sahabat Husin yang direnggut kemudaannya oleh nikotin. Meskipun bukan anak kandung tetapi Husin dan Karen sangat menyayangi mereka, Anisa dan Rena. Sayang kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Karen jatuh tersungkur bersama dua pemuda Marind Marori. Mereka ditembak saat ingin menyebrangi sungai Digul. Seketika sungai memerah darah, yang kalau dirunut ke hulu akan melewati Boven Digul, tempat sebagian republik ini pernah diasingkan. Sungai itu seolah ditakdirkan bercerita tentang kehendak bebas. Dulu mengupayakan republik merdeka, sekarang mempertahankan hak hidup suku Marind. Inilah panggilan Ksatria Pelangi Karen yang terakhir. Yang merenggut nyawanya di Papua.
Sarongge sedianya adalah sebuah desa di kaki Gunung Gede, Kecamatan Cipanas, Jawa Barat. Kira-kira hanya beberapa kilometer di sebelah barat daya Istana Cipanas. Terletak di ketinggian 1500 mdpl, Sarongge masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Disitulah, Karen Hidayati, gadis seorang aktivis lingkungan di organisasi Ksatria Pelangi, bertemu kembali dengan Husin petani gunung, sahabat lamanya saat mereka kuliah dulu. Pertemuan singkat di madrasah kampung, menumbuhkan kembali rasa yang pernah ada pada Husin. Kegagumannya terhadap Karen yang tentulah Karen sudah tahu sedari dulu. Tapi dia tak punya banyak waktu untuk menanggapi. Perhatian Karen tersita oleh hutan-hutan yang menyeretnya ke dunia antah-berantah. Apalagi setelah berkenalan dengan organisasi Ksatria Pelangi, organisasi yang membuka matanya pada kesewenang-wenangan manusia. Kuasa dan modal yang mengoyak hutan. Ia larut pada penelitian dan aksi menjaga hutan. Walaupun akhirnya rasa hangat pelan-pelan menjalar pada hati Karen. Tentang Husin, yang lepas tamat kuliah memilih cara hidup berbeda. Meninggalkan kenyamanan kelas menengah dan dengan sengaja memutuskan teguh pilihannya untuk berkembang bersama warga Sarongge. Dia punya gagasan, sederhana dalam pilihan. Husin tabah menanggung risiko dari pilihannya itu. Hal itu membangkitkan rasa kagum yang alamiah pada Karen. Mereka kembali merangkai cerita, dan mulai memupuk cinta di kampung kelahiran Husin, Sarongge.
Karen, seorang wanita pemberani, setengah hidupnya telah ia habiskan bersama Ksatria Pelangi. Menjelajah daerah pesisir Kampar hingga Papua untuk melawan kapitalisme yang terus menggerogoti lingkungan dan masyarakat yang hidup darinya. Karen telah mengabdikan seluruh jiwa dan raganya untuk membela bumi. Hingga pada akhirnya menikah dengan Husin. Awal bulan Juli, di dalam hutan Pasir Pogor Buntu kampung Sarongge. Pada saat pohon bunga Ki Hujan berguguran. Mereka menghabiskan malam disana. Berdua diterangi bulan purnama. Kelopak daunnya rontok berputar seperti kincir dan lembut menyentuh tajuk-tajuk pepohonan lain. Musim gugur khas Sarongge yang hanya terjadi setahun sekali.
Tiga tahun setelah itu mereka dikaruniai dua orang anak. Anak itu titipan ustad Maarif, sahabat Husin yang direnggut kemudaannya oleh nikotin. Meskipun bukan anak kandung tetapi Husin dan Karen sangat menyayangi mereka, Anisa dan Rena. Sayang kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Karen jatuh tersungkur bersama dua pemuda Marind Marori. Mereka ditembak saat ingin menyebrangi sungai Digul. Seketika sungai memerah darah, yang kalau dirunut ke hulu akan melewati Boven Digul, tempat sebagian republik ini pernah diasingkan. Sungai itu seolah ditakdirkan bercerita tentang kehendak bebas. Dulu mengupayakan republik merdeka, sekarang mempertahankan hak hidup suku Marind. Inilah panggilan Ksatria Pelangi Karen yang terakhir. Yang merenggut nyawanya di Papua.
Gaya bahasa yang digunakan Tosca Santoso dianggap sebagai gaya yang baik dan sangat menarik, didalamnya selain menggunakan Bahasa Indonesia juga menggunakan Bahasa Sunda. Membuat para pembaca tampak penasaran. Ia juga memperkenalkan tumbuhan khas Sarongge beserta nama latinnya. Unik dan tetap enak dibaca. Tak banyak novel yang ditulis dengan banyak peristiwa nyata. Isinya bukan hanya laporan, kesaksian dan gugatan tentang perusakan bumi. Melalui riset yang tekun, Sarongge berhasil menjelaskan secara sederhana akar-akar konflik lingkungan dan kehutanan. Bahkan menyodorkan argumentasi nyaris tanpa bantahan. Alur yang terdapat didalam Novel ini adalah Alur Campuran, namun lebih dominan menggunakan Alur Maju. Tosca Santoso menggunakan sudut pandang orang ketiga tunggal. Sebab ia mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motif. Juga bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lain. Bahkan bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan para tokohnya. Novel ini mengandung banyak ide dan ideal, mengenai perjuangan dan manusia. Mengajarkan pembaca tentang tugas terakhir kemanusiaan; mempertahankan bumi dari perusaknya. Karena seperti dinyatakan penulisnya, “pada tetes air terakhir, emas dan tembaga tak ada artinya.”
Komentar
Posting Komentar