Ibu Menteri dan Bapak Presiden, tahun lalu kabut asap datang dua kali dalam dua musim. Padahal biasanya ia hanya datang sekali. Namun tahun ini ia datang berkali-kali. Saya sempat berpikir bahwa tahun lalu adalah tahun terparah. Nyatanya tahun ini malah lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya. Indeks Standar Polutan Udara di Kota Pekanbaru menunjukkan level berbahaya hingga berhari-hari. Kualitas udara buruk sekali, bahkan dua hingga tiga kali lipat di atas ambang berbahaya.
Sejak Agustus, Pekanbaru dan sejumlah daerah kabupaten kota mulai terpapar rata oleh asap tebal. Saya lalu teringat janji Bapak Presiden ketika blusukan asap di Sungai Tohor tahun lalu. Bapak bilang bahwa asap kebakaran hutan dan lahan akan berkurang drastis di tahun 2015. Namun nyatanya semua tak semudah yang diucapkan. Pelaksanaan dan masalah teknis di lapangan mungkin sangat lemah. Bahkan untuk menetapkan status darurat asap saja sulit sekali.
Ibu Menteri dan Bapak Presiden, asap memburuk sejak awal September hingga hari ini. Jarak pandang pada jam-jam tertentu hanya terbatas antara 30 hingga 400 meter. Partikulat meter udara sudah menunjukkan level berbahaya khususnya PM10 dan situasi itu terjadi selama berhari-hari. Kami, dari berbagai kalangan mulai turun ke jalan. Rasanya saat itu seluruh masyarakat Riau sangat marah. Ada saja unjuk rasa di setiap minggunya. Pemerintah daerah bahkan seolah tak mau bicara bila tidak dipaksa.
Saya ceritakan setiap hal yang saya dan masyarakat Riau rasakan kepada dua orang teman, Pandu dan Wahyu. Mereka berasal dari Jogja. Sejak tahun lalu saya mencoba lakukan banyak cara untuk protes atas kabut asap ini mulai dari menulis di blog pribadi hingga berbagai media sosial lainnya. Diskusi, lalu berbicara di TV dan Radio. Turun ke lapangan bahkan bertemu presiden, tapi semuanya seolah tak berhasil. Asap tetap saja ada.
Rasanya saya benar-benar sudah capek, Bu Menteri dan Bapak Presiden. Namun mereka dan bencana ini seperti terus memberi alasan untuk terus melawan. Lantas ide dari teman membuat saya menulis petisi yang menuntut hak atas udara yang bersih kepada pengelola negara dengan tautan video sebagai pembukanya. Sementara itu di Jogja untuk pertama kalinya teman-teman melakukan aksi solidaritas untuk Riau. Lalu mereka juga menggalang dana untuk mengirim masker standar N95, oksigen kemasan dan obat-obatan.
Sejatinya petisi tersebut bercerita tentang pengalaman pribadi saya sejak kecil hingga kuliah yang menghirup asap kebakaran hutan. Delapan belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Awalnya kami pesimis, sebab hanya ada 56 pendukung saja. Namun seiring semakin tebalnya kabut asap petisi tersebut terus merangkak hanya dalam hitungan menit. Pendukung terakhir sudah 18.000 lebih. Dua hari setelah posting petisi adalah puncak kabut asap di Riau. Pekanbaru gelap sekali. Sekolah dan universitas kembali diliburkan. Korban ISPA meningkat bahkan ada seorang anak yang diberitakan meninggal dunia yang ditenggarai terpapar parah oleh polutan asap. Posko-posko kesehatan mulai dibangun. Personil yang memadamkan api berdatangan dan terus bertambah.
Petisi saya kemudian ditanggapi Ibu, seorang Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang akhir-akhir ini terlihat sangat sibuk di lapangan. Dalam tanggapan itu, Ibu Menteri menggambarkan beberapa hal yang diantaranya saat menulis tanggapan, Ibu Menteri sedang berada di Kalimantan Selatan yang artinya sedang bekerja. Ibu Menteri juga mengatakan luas areal yang terbakar tahun ini jauh lebih berkurang dibandingkan tahun lalu. Namun ada hal yang masih agak mengganggu pikiran saya. yaitu penjelasan Ibu Menteri mengenai solusi jangka panjang kebakaran hutan. Ibu Menteri mengatakan hal itu bisa dilakukan dengan cara pengelolaan gambut secara baik dengan cara penggunaan lahan yang tepat. Apakah ini berarti hutan dan lahan gambut tetap akan bisa dibuka untuk menjadi perkebunan? Bukankah selama ini kebakaran hutan yang menghasilkan kabut asap tebal dengan polutan 3-6 kali lipat lebih berbahaya dari standar normal adalah hasil dari pembukaan hutan gambut untuk kebun-kebun monokultur yang luas?
Delapan belas tahun bencana kabut asap adalah praktek pembiaran, hutan dibiarkan dibuka, gambut dibiarkan digali dan dikeringkan. Bukan hanya untuk Riau atau provinsi lain di Sumatera, tapi seluruh manusia yang terkena imbas dari keserakahan tangan-tangan penguasa dan pengusaha. Belum cukupkah alasan bagi Ibu untuk segera melindungi total gambut Indonesia guna menghentikan bencana kebakaran hutan tahunan ini?
Mengapa saya memilih mengadu kepada Ibu Menteri dan Bapak Presiden? Itu karena pemerintah daerah gagal menanggulangi kebakaran dan terlalu lambat mengurangi dampak kesehatan terhadap masyarakat. Tidak ada kekuatan meski rapat penanggulangan kebakaran kerap dilakukan di awal-awal tahun. Saya sadar, pemerintah daerah juga menjadi musabab kebakaran ini terus terjadi karena masih menerbitkan sejumlah izin perkebunan di hutan-hutan gambut. Kini kepemimpinan itu ada di tangan Ibu Menteri jika tidak Bapak Presiden. Kami memberi mandat, dan kini kami menunggu tindakan pemerintah. Dan ini bukan persoalan Riau, tapi juga Jambi, Sumatera Selatan, termasuk kota-kota di Kalimantan. Kami tidak diam karena kami terus melawan asap!
Komentar
Posting Komentar