Langsung ke konten utama

Pemurah, Suka Pelihara Anak Orang



Soeman Hasibuan adalah satu diantara pendiri Universitas Islam Riau lainnya. Ia bersama Zaini Kunin dan Khadijah Ali. Ia dilahirkan pada 4 April 1904 di Batantua. Ayahnya Lebai Wahid Hasibuan. Diberi gelar Lebai sebab pandai mengaji dan paham ajaran islam. Istrinya bernama Tarumun. 


Soeman anak ke tiga dari enam bersaudara. Dari enam hanya satu perempuan. Kakak diatasnya. Disamping menjadi Lebai ayahnya juga petani. Mereka hidup dalam kesederhanaan. Sebagai seorang Lebai ia pun mengajarkan anaknya hidup dalam ajaran islam. Lebai Wahid dihargai dan dihormati di Bengkalis.  

Awal mulanya Lebai Wahid dan Tarumun asli Mandahiling, Tapanuli Selatan, desa Hutanopan. Mayoritas disana beragama islam. Mereka merantau dan memutuskan tidak akan kembali lagi ke kampung. Ia juga melarang anak-anaknya. Entah karena apa. Maka sejak kecil hingga akhir hayat mereka tak pernah kembali ke kampung tersebut.

Setelah menikah Lebai dan Tarumun memutuskan menetap di Bengkalis. Perjalanan mereka dari kampung ke Bengkalis tidaklah segampang sekarang. Memakan waktu bertahun-tahun mengingat bahwa dahulu tak banyak orang memiliki kendaraan, darat maupun laut. Sehingga sebagian perjalanan ditepuh dengan berjalan kaki.  

Kedatangan mereka di Bengkalis disambut baik masyarakat setempat, sebab Lebai dan isterinya sangat ramah dan sopan santun. Tak sedikit orang menyenanginya.  

Tahun 1912 umur Soeman tujuh tahun. Ia masuk sekolah Melayu Gouevernement Inlandsch School (GIS). Sederajat Sekolah Dasar dan tamat pada 1918 . Lalu, beliau ikut ujian masuk Normaal Cursus (Sekolah Calon Guru) di Medan. Sebanyak 24 peserta, Soeman menempati peringkat ke 4 dari 6 orang yang diterima. Ia mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda sebesar Rp.4 perbulan selama menempuh pendidikan di Sekolah Calon Guru tersebut. Tahun 1920, ia telah menyelesaikan pendidikannya di Normaal Cursus, kemudian melanjutkan ke Normal School (sekolah guru yang sebenarnya) di Langsa, Aceh Timur dan tamat pada tahun 1923.  

Soeman kembali ke Batantua. Setelah tiga bulan ia diangkat menjadi guru Bahasa Indonesia di HIS (Holland Inlandsch School) sekolah Belanda di Siak Sri Indrapura. 7 tahun mengabdi menjadi guru beliau diangkat sebagai Kepala Sekolah Melayu dan Penilik Sekolah di Pasir Pengarayan pada tahun 1930. 

Sesaat jelang Kemerderkan RI tahun 1945, Soeman kemudian ditunjuk menjadi ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) di Pasir Pengarayan. Masih menjabat sebagai ketua KNIP, ia diangkat pula menjadi Anggota DPR di Pekanbaru Riau. Lalu sempat juga diangkat menjadi KPG (Komandan Pangkalan Gurilla) Rokan Kanan pada saat Yogyakarta diduduki Belanda.  

Tahun 1960 Soeman pensiun juga berakhirnya masa jabatan sebagai Kepala Jawatan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Kabupaten Kampar, Pekanbaru. Baru saja memasuki pensiun, tahun 1961 ia diangkat menjadi anggota BPH (Badan Pemerintahan Harian) merangkap sebagai kepala Bagian Keuangan di Kantor Gubernur Riau oleh Gubernur Riau. Saat itu  Kaharuddin Nasution. Bukan hanya itu, kesibukan terbagi menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Daerah Riau dengan Zaini Kunin sebagai Ketua hariannya. Mereka berjuang bersama-sama mendirikan UIR. Tenaga dan pikiran.  

“Kalau dulu pak Zaini aktifnya di kantor departemen agama kalau pak Soeman di departemen pendidikan. Karena punya misi yg sama maka bergabunglah mereka mendirikan UIR”, jelas Fahridar Hasibuan, cucu Soeman Hs. 

Soeman orang yang pemurah. Ia suka melihara anak orang. Dalam artian suka mengumpulkan anak orang, dijadikan anak angkat dai berbagai suku. Tidak sedikit. Sehingga rumahnya selalu ramai tempat kumpul-kumpul. Dari bujang sampai kawin. Diantaranya Muhammad Sani, Gubernur Kepulauan Riau yang sekarang.

“Muhammad Sani dulu sama kami tinggalnya”, kenang Fahridar.

Kadang Muhammad Sani datang, jalan sendiri mutar-mutar dekat kebun kelapa. Dia terangkanlah pada  warga-warga bahwa dia dulu yang menanam.

 
***



Ketika belajar di Sekolah Melayu, Soeman Hs mulai menggemari sastra. Sebagai usaha mengembangkan bakatnya dalam bidang sastra, beliau sering mengikuti pembicaraan ayahnya dengan para saudagar yang datang ke rumahnya tentang kehidupan di Singapura. Dari situlah, ia kemudian banyak berkhayal dan memperoleh banyak inspirasi, serta beberapa bahan cerita. 

Karena gemar membaca ia banyak memperoleh inspirasi di buku perpustakaan. Dua buku yang diminati ketika itu, Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan Teman Duduk karya M. Kasim. Kepengarangan Soeman Hs juga muncul berkat dorongan dari gurunya, M. Kasim, yang sering menceritakan pengalamannya menulis.

Soeman Hs, Penulis dan Pendiri UIR.


Tulisan-tulisan Soeman Hs dimuat dalam majalah ibukota. Ada juga yang harian. Di harian Indonesia Raya Soeman tercatat sebagai penulis tetap, dan di majalah Harmonis, Jakarta (1977-1978) ia khusus mengisi kolom Menyelami Bahasa Indonesia. Di antara tulisannya yang pernah dimuat dalam kolom tersebut, yaitu: Senyum dan Tawa, Kalau Hari Panas Lupa Kacang Akan Kulitnya, Marilah Kita Bersikap Hidup Sederhana, dan lain-lain. Selain itu, ia juga pernah menjadi pengasuh ruang siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di Stasiun RRI Pekanbaru yang ditayangkan dua kali seminggu. Pada tahun 1972, ia sempat menerbitkan sebuah majalah anak-anak bernama Nenek Moyang, meskipun hanya beberapa kali terbitan karena kesulitan dana.  

Soeman Hs meninggal dunia pada hari Sabtu 8 Mei 1999 di rumahnya, Jl. Tangkubanperahu, Pekanbaru dalam usia 95 tahun. Ia meninggalkan seorang istri bernama Siti Hasnah dan 9 orang anak yakni Syamsul Bahri (sulung), Sawitri, Syamsiar, Faharuddin, Mansyurdin, Burhanuddin, Najemah Hanum, dan Rosman (bungsu), serta sejumlah cucu dan cicit.  

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Data Nyastra Sarongge

Judul : Sarongge Penulis : Tosca Santoso Penerbit : Dian Rakyat Tahun terbit : September 2012 Tebal buku : 370 halaman Sebuah novel fiksi pertama karya Tosca Santoso. Direktur Utama KBR68H ini sudah 20 tahun lebih menjadi seorang jurnalis. KBR68H kantor berita radio independen terbesar di Indonesia. Melayani berita dan program-program radio berkualitas untuk 900 radio lebih di Indonesia, serta 9 negara di Asia dan Australia terhitung hingga saat ini. Selain itu ia juga   menjadi Direktur Utama Green Radio dan Tempo TV. Sarongge adalah tempat angker yang dihuni roh-roh jahat. Begitu kata sebuah catatan usang penulis Belanda. Sisi lain, warga setempat bercerita kalau Sarongge adalah makhluk jejadian. Berkepala manusia, tetapi berbadan kuda seperti halnya dongeng Yunani, Centaurus. Namun sayang belum ada warga yang pernah bertemu makhluk tersebut. Sehingga tak ada gambaran lebih jelas atau hanya seonggok cerita turunan dari nenek moyang mereka.

Pekasam Ikan Subayang

Oleh: Rahmi Carolina Pekasam ikan merupakan salah satu produk ikan awetan yang diolah secara tradisional. Ia dilakukan dengan metode penggaraman yang dilanjutkan dengan proses fermentasi. Biasanya pekasam menggunakan ikan air tawar dengan rasa sedikit masam ketika sudah jadi. Di Riau sendiri khususnya di Rimbang Baling, Kampar Kiri Hulu olahan masakan ini cukup dikenal. Konon kabarnya, pekasam ikan ini dilakukan agar ikan awet lebih lama, food safety. Ia pun menjadi makanan simpanan jika satu waktu terjadi kesulitan mencari bahan pangan. Sebab dimasa itu belum ditemukan cara pengawetan dengan tekhnologi menggunakan pendingin bersuhu di bawah nol derajat celcius, seperti kulkas. Kamu penasaran? Mari kita coba! Bahan: 1.       1kg ikan Lilan (ikan air tawar dari Subayang) 2.       ½ canting beras 3.       1 bungkus garam kasar 4.       3 helai daun kunyit Cara membuatnya: 1.       Siangi ikan dan cuci bersih. 2.       Sangrai beras hingga berwarna cokla

Melepas Kutukan Melalui Perempuan

Oleh: Rahmi Carolina Tanggal 9 Desember merupakan Hari Anti Korupsi Internasional. Beberapa spanduk tentang peringatannya berdiri rapi di bibir jalan Sudirman. Kabarnya, Riau mejadi tuan rumah dalam momentum tersebut. Mungkin ia terpilih karena kisah kelam dimasa lalunya sebagai daerah rawan korupsi. Di Indonesia, berbicara soal korupsi sudah seperti makanan sehari-hari. Hal itu terbukti dari banyaknya pemberitaan di media yang menyoroti kasus tersebut. Selalu saja ada dan seolah tanpa jeda. Bahkan untuk Riau sendiri saat ini disebut sebagai daerah yang memiliki angka korupsi tertinggi. Lantas disusul oleh daerah Aceh, Sumatera Utara, Papua dan Papua Barat. Tentu saja pencapaian yang diperoleh Riau seolah kutukan untuk marwah melayu. Sumber: Google Sejak KPK berdiri, tercatat sudah 25 orang pejabat di Riau tersangkut kasus korupsi. Tingginya kasus korupsi di Bumi Lancang Kuning tampak dari terjeratnya tiga Gubernur dalam tiga periode berturut-turut. Ketiganya ditahan KP