BERAWAL ketika saya dan teman-teman Forum Pers Mahasiswa Riau buka lapak kaos oblong khas Melayu Riau. Di minggu kedua Januari tahun 2013 lalu, Tosca Santoso launching bukunya di gedung Dewan Kesenian Riau, Pekanbaru. Kami sengaja memburui kedatangannya. Selain diundang, besar harapan ia mau beli kaos kami. Saat itu kami hendak bikin pelatihan jurnalistik dan new media. Jual kaos oblong adalah cara lain agar dapat uang. Tentu di samping sebar proposal.
Launchingnya
ada di lantai kedua. Lapak kami di bawah anak tangga. Tepat di sebelah ruangan
dosen Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR). Banyak orang hanya melihat-lihat. Tak
satupun membeli. Sangat sepi.
Selang 45 menit, seorang lelaki menghampiri
kami. Badannya tak terlalu gemuk. Pakai jaket dalamannya kaos. Ia bertopi juga
berkacamata. Seperti seniman, mungkin dosen sini pikir saya.
“Ini apa maksudnya?”
Ia bertanya sembari menunjuk kaos
bertulis ‘Pekanbaru Bumi Lancang Kuning’. Dalam hati rasanya begitu kesal.
Kenapa dosen ini sampai tak tau makna tulisan tersebut. Padahal ia mengajar di
STSR yang sangat dekat dengan kebudayaan Melayu.
Belum sempat beri jawaban jelas, seorang
perempuan mempersilahkan ia masuk ke ruangan dosen. Tak lama sesudah itu kami
ke lantai dua. Launching segera
dimulai.
Kami duduk tak begitu jauh dari depan.
Saya terkejut melihat lelaki tadi berada di atas panggung. Besar kemungkinan dia
penulis buku Sarongge. Dan ternyata
benar, dialah Tosca Santoso. Pantas saja tak paham makna kaos tadi. Dia bukan
orang Riau. Dan dia target kami.
Lantas saya beli bukunya disana lalu
minta tanda tangan. Lovina Pemimpin Umum Bahana
Mahasiswa Universitas Riau suruh saya
tawarkan kaos tadi pada Tosca.
“Mas, tadi yang dibawah liat-liat kaos
kan?”
“Iya bener.”
“Mas beli dong, oleh-oleh dari Riau. Ini
kaos asli buatan anak Melayu sini.”
“Oh ya? Harganya berapa?”
“85 ribu mas.”
Tiba-tiba Lovina bisikkan ke telinga saya, “Udah bilang aja 100 ribu, pasti
duitnya banyak.”
“Eh, harganya 100 ribu mas. Bahannya
bagus. Dingin. Soft cotton,” jelas
saya lagi.
“Yaudah, ambil empat ya untuk anakku,”
katanya.
Pertemuan itu mengawali komunikasi saya
dengan beliau. Tosca Santoso adalah Direktur Utama Kantor Berita Radio (KBR) 68H.
Ia sudah 20 tahun lebih jadi seorang jurnalis. KBR 68H merupakan kantor berita
radio independen terbesar di Indonesia. Melayani berita dan program-program
radio berkualitas untuk 900 radio lebih di Indonesia, serta sembilan negara di
Asia dan Australia hingga saat ini. Selain itu ia juga Direktur Utama Green
Radio dan Tempo TV.
Ia jugalah yang menulis buku Sarongge. Novel ini seolah menghipnotis
setiap pemikiran saya tentang lingkungan. Ia berisi penjelasan tanaman-tanaman
endemik di sana. Selain itu kehidupan petani, perburuan, lingkungan serta
cerita perjuangan cinta tokohnya; Husin dan Karen.
Sarongge
tak hanya sekedar novel atau karya sastra biasa. Ia mengandung ide dan ideal
mengenai perjuangan manusia, bukan hanya sekedar tentang periuk nasi.
Juni tahun lalu, usai ikut pelatihan
Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau di Jakarta, saya sempatkan diri ke Sarongge.
Alasan sederhana ketika ditanya, saya ingin melihat pohon Ki Hujan. Pada
musimnya, tanaman ini akan berbunga dan berbuah, lantas akan gugur seperti
hujan.
Pohon Ki Hujan Sedang Berbunga |
Sebagian ahli mencatat Ki Hujan biasanya
berbunga antara Juni sampai Agustus, dan akan gugur pada September hingga
Oktober. Nama latinnya Engelhardia Spicata Lech.
Ki Hujan jadi Engelhardia tentu ada
sejarahnya. Tahun 1805, seorang ahli botani Perancis LT Leschenault de la Tour meneliti tumbuhan di Gede Pangrango.
Penelitiannya disokong oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda, Nicolaas Engelhard.
Saat ahli botani tersebut menemukan
Ki Hujan, ia mengabadikan nama Engelhard untuk tumbuhan yang baru dilihatnya.
Jadilah Engelhardia spicata Lech. Dan
para pelajar akan terus menghapal dengan nama itu. Atau Ki Hujan yang lebih
bermakna.
Sedianya novel Sarongge adalah cerita tentang sebuah kampung. Sarongge adalah
sebuah desa di lereng Gunung Gede, Kecamatan Cipanas, Jawa Barat. Kira-kira
hanya beberapa kilometer di sebelah barat daya Istana Cipanas. Terletak di
ketinggian 1500 mdpl. Sarongge masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (TNGGP). Butuh waktu 3 jam bermobil untuk sampai dari Jakarta.
Saya turun
dari mobil di depan gang yang tak terlalu besar. Berseberangan dengan SPBU. Kemudian Saya masuki kampung dengan
ojek dan berhenti di Radio Edelwis. Jalannya mendaki dan terjal. Kiri kanan
perkebunan teh. Satu-satu ada rumah
warga.
Setibanya di Radio Edelwis, Saya langsung diantar ke Saung Sarongge.
Di sana
bertemu dengan Bejo, Syarief dan lainnya dari Green Radio. Kami ngobrol
ringan.
Mereka cerita banyak tentang petani Sarongge. Lalu pemberian bantuan ternak
kepada petani-petani, hingga program adopsi pohon Green Radio bersama TNGGP.
Tak jauh dari saung, di sebelah kiri bagian
belakang tampak peternakan kambing. Usaha peternakan kambing dan kelinci di
Sarongge dijadikan penghasilan alternatif bagi petani. Hal demikian dilakukan untuk
mendukung reforestasi hutan Sarongge. Sebab pepohonan yang ditanam semakin
membesar. Dahan-dahan yang rindang mulai menutupi kebutuhan cahaya matahari
bagi ladang sayuran petani Sarongge. Sehingga para petani kerap memangkas dahan
pohon-pohon itu hingga menjadi ranggas. Kritis.
Tosca dan Pihak Green Radio bersama
TNGGP mengantisipasi hal tersebut. Mereka memberikan
penghasilan alternatif untuk petani seperti beternak kelinci, kambing dan
lebah. Upaya reforestasi tak akan berhasil jika kehidupan petani yang
sebelumnya menggunakan lahan-lahan hutan untuk berladang tidak terpenuhi
kebutuhan sehari-harinya.
Tak lama setelah menghabiskan kopi dan
melihat ternak kambing, saya meneruskan jalan ke camping ground. Masih pada jalan yang sama, tapi kali ini harus
berjalan kaki. Butuh waktu 2
jam untuk sampai. Saya mengamati sekeliling. Semua hal di sini tentu sudah
dituturkan Tosca dalam novelnya. Persis.
Di penghabisan aspal, kira-kira 500
meter pertama jalan setapak masih landai. Tampak hamparan petakan ladang-ladang
sayur. Ada kol, cabe, wortel, brokoli, daun bawang dan lainnya. Di sisi lain
ada barisan-barisan kolecer.
Kolecer atau kincir angin merupakan satu
diantara jenis permainan yang sangat populer di Sarongge. Pada musim angin
barat bertiup kencang, anak-anak muda Sarongge biasa berlomba memasang
kolecer. Mereka berlomba membuat kincir
yang paling cepat putarannya dan menimbulkan bunyi terbagus.
Kolecer diantara Ladang Sayuran |
1 km berikutnya perjalanan sangat
menanjak dan miring. Pertanyaan muncul selangkah-selangkah dalam perjalanan. Di
gunung yang berada dalam kawasan TNGGP, banyak ladang-ladang sayuran berserakan,
berhimpit-himpitan hingga ke punggungan gunung yang semestinya hutan.
Komentar
Posting Komentar