Siapa
yang tak mengenal Tanjung Belit? Benar sekali, kampung ini menjadi pembicaraan
beberapa waktu belakangan, sebab air terjun Batu Dinding yang ia miliki. Indah
dan masih alami. Tanjung Belit, berada di sisi kiri Subayang jika bertandang
dari arah Lipat Kain. Setelah dari Gema belok ke kiri, lalu sedikit menanjak
dan turun bukit. Jika berhenti sejenak, siapapun akan disuguhkan bentangan
bukit-bukit hijau. Lalu lelehannya mengalir dan berkumpul di sungai Subayang. Subayang
bagaikan jantung, sedangkan airnya adalah darah. Tugasnya mengaliri setiap
organ-organ kehidupan, lalu organ itu menghidupi kehidupan lain. Begitu
seterusnya. Ia benar-benar inti dari kehidupan di kawasan Rimbang Baling.
Jalan
aspal terakhir hanya bertapak sampai di Tanjung Belit. Jalan di kampung itu
berbelit-belit sebab itulah kampung diberi nama Tanjung Belit, begitu gurauan amak-amak saat ditanya arti nama
kampungnya.
Pagi
itu matahari belum benar-benar keluar dari balik bukit. Saya dan Doni bersama
dua petani muda mulai berjalan menyusuri hutan desa. Petani itu Ardi dan Masri.
Mereka sepupu dari belah ibu. Belum lama ini pula mereka menggeluti pekerjaan
tersebut. Sebelumnya Ardi menakik karet di kebun milik orangtuanya. Namun ada
banyak hal yang menjadi pertimbangannya dan memilih bekerja sampingan mencari
kulit medang. Ardi bukanlah satu-satunya pencari kulit medang di kampungnya.
Ada banyak orang dan berbagai pula umurnya.
Ardi dan Masri memikul kulit pohon medang menggunakan karung beras bulog 50kg Foto: Rahmi Carolina |
Sepintas
ingat obrolan di kedai waktu itu. Lelaki paruh baya bercerita bahwa sejak 2013 hingga tahun 2016 saat ini harga
karet selalu melemah. Ditingkat petani karet yang berada di kampung sangat merasakan
dampak buruknya perekonomian. Bahkan beberapa tokeh menolak karet sebagian
orang di pasaran. Tokeh lokal hanya berani buka harga ke petani dikisaran
harga empat ribu rupiah per kilogramnya. Sedangkan untuk harga sekilo beras di kampung
mencapai dua belas ribu rupiah.
Di desa Tanjung Belit sendiri, mayoritas
profesi masyarakatnya adalah bertani karet. Kebun karet tersebut berasal dari
harta warisan atau kebun peninggalan dari orang tetua dulu. Kebun tua itu masih
dipertahankan dan digarap untuk menopang perekonomian selama ini.
Namun bicara soal karet, berarti bicara soal
Kampar. Kita sudah tau bahwa pendapatan
masyarakat kabupaten Kampar banyak bertumpu pada komoditas karet. Tapi sejak harga karet terjun bebas, masyarakat
pun bagai terjun ke jurang.
“Whuuu…..”
“Whhuuuuu….”
Suara itu membangunkan saya dari
lamunan. Ardi memberi kode, memastikan saya dan Doni baik-baik saja karena
tertinggal jauh dari mereka. Langit mulai mendung dan hujan turun di hutan yang
kami susur. Kami bergegas mencari tempat yang aman di bilik-bilik kayu. Tak
lama setelah itu hujan pun reda. Kabut tipis mulai merambat di dedaunan. Ardi
mengeluarkan bekal yang dibungkus dengan pelepah pinang dari tas karungnya. Kami
putuskan untuk sarapan dulu. Mereka bilang biar semakin kuat pikul kulit medang nanti. Maka lepas sarapan kami
melanjutkan mencari pohon medang.
Jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK)
yang telah dikenal di Sumatera salah satunya yang sangat potensial untuk dikembangkan
adalah kulit medang. Komoditas ini secara umum belum banyak dikenal di
masyarakat, namun perdagangannya sudah berlangsung dibeberapa daerah penghasil
seperti di Sumatera Utara dan Riau. Hanya saja kulit medang ini masih diperoleh
dengan cara tradisional, yakni ditebang dan dikuliti.
Sejatinya pemanenan kulit medang di
Kampar merupakan kegiatan yang relatif baru. Ia dilakukan setelah adanya
permintaan pasar dari kulit pohon ini dari daerah Sumatera Utara. Kulit medang
diolah untuk pengawetan kayu. Selain itu kulit medang juga digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan obat nyamuk bakar, lem dan dupa. Maka mencari kulit
medang menjadi kegiatan penting di masyarakat.
Namun dari tahun ke tahun pekerjaan
ini cenderung menurun. Sebab permintaan pasar kulit medang belum mencapai
tingkat maksimum dan tidak mengenal kuota. Terlebih lagi karena ketidak pahaman
petani akan tekhnologi pemanenan yang lestari dan keterlibatan pemerintah akan
hal tersebut. Ketersedian pohon ini di alam pun semakin menipis, sehingga
pekerjaan pemanenan ini hanya ditekuni oleh sebagian masyarakat saja.
Setelah menuruni beberapa bukit, akhirnya
kami nememukan pohon medang. Benar saja, kalaulah ketersedian pohon tetap ada
tidak mungkin kami berjalan sejauh ini. Saat itu saya juga bertemu dengan
sepasang suami istri. Mereka sedang menguliti pohon medang yang sudah ditebang.
Mereka juga dari Tanjung Belit. Saya bercakap-cakap sembari mengamati caranya.
“Payah
man cai piti nak, tapi itulah iduik ko condo ayam kok lai wak mangoke, lai awak
makan”, kata ibu tersebut sambil terus menguliti medang dengan parangnya.
Setelah seluruh bagian pohon medang
selesai dikuliti, kulit-kulit tersebut ditumpukkan disatu tempat. Ia lalu
dipotong-potong lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Hal tersebut dilakukan
agar karung menjadi padat dan semua kulit bisa terbawa. Biasanya medang
berdiameter 1 meter dan dengan tinggi 15 meter mampu menghasilkan sekitar 1 ton
kulit medang basah. Namun saat medang ditebang tak jarang pula batangnya rebah
kearah bawah bukit dan sulit dijangkau. Maka tak ada pilihan lain untuk mencari
medang yang baru. Ketika medang tesampang
lagi kearah yang tak diingini, lagi-lagi tak ada pilihan lain selain
ditinggali. Begitu seterusnya.
Tentu kita semua pun tau, bahwa masyarakat
bagian dari lingkungan. ketika kebutuhan masyarakat tidak dapat terpenuhi maka
manusia cenderung akan menekan alam.
Tapi bagaimana mungkin mereka bisa beramah tamah dengan medang sedangkan harga
jualpun belum dalam kategori wajar. Sekilo kulit medang basah hanya dihargai
seribu tiga ratus rupiah, sedangkan yang sudah dijemur dan kering dihargai
tigaribu rupiah oleh tengkulak. Ini tidak ada bedanya dari hasil getah karet.
“Iduik
susah, tuhan nan kayo,” kata ibu sambil memikul karung 50kg berisi penuh kulit
medang.
Kulit medang dicincang sebelum dijemur Foto: Arsyad Rachim |
Hari semakin gelap, setelah karung
terisi penuh kami semua berjalan turun dari bukit. Tak jarang beberapa petani
terpeleset karena sisa hujan tadi. Perlahan-lahan kami keluar dari hutan.
Sebenarnnya bukan masyarakat tak paham soal hutan, bukan mereka tak tau cara
panen yang lestari. Ini soal periuk nasi. Belum lagi susahnya mencari tempat
penampungan yang membeli hasil panen petani secara layak. Lantas petani untuk
menyambung hidup harus berurusan dengan tengkulak. Seperti Ardi yang tak mau
ambil resiko, ia langsung jual kulit medang basah ke tengkulak kecil di
kampung. Tengkulak itu nanti yang menjemur kulit hingga kering, lalu dijual
lagi ke tengkulak yang lebih besar dengan harga dua kali lipat dari yang
didapat Ardi.
Sesampainya di kampung langit
tumpah, setumpah-tumpahnya. Memberkahi setiap makhluk hidup yang ada disana. Menghapus
jejak kami, menyiram luka-luka kehidupan di kampung yang indahnya tak berarti
dari sebuah periuk nasi.
* * *
(Rahmi Carolina)
Komentar
Posting Komentar