Langsung ke konten utama

Air Kritis, PLTA Koto Panjang Mati Suri

Oleh: Rahmi Carolina

Alih fungsi lahan tampak di bukit yang bersentuhan langsung dengan waduk PLTA Koto Panjang


Demam sawit merupakan aktifitas masyarakat yang paling mengkhawatirkan di sekitaran waduk PLTA Koto Panjang. Pendemam sawit mengganti pohon-pohon yang dulunya  beraneka ragam menjadi pohon monokultur. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi ketersediaan air pada waduk tersebut. Fungsi orologis hutan, tentu tidaklah akan pernah terbayar lunas dengan keberadaan si pohon pengganti. Justru akan terjadi sebaliknya. Perakaran sawit pun bukanlah si penyimpa air, ia malah tergolong tumbuhan yang banyak menyerap dan menghabiskan air.

Sisi lain, kemiringan lahan tak pula menjadi penghalang bagi masyarakat untuk menukar hutan menjadi kebun sawit. Alih fungsi lahan ini bisa dilihat selepas dari Rantau Berangin. Di kiri kanan jalan dari arah Pekanbaru menuju Sumatera Barat akan tampak pinggangan  dan puncak bukit sudah berhiaskan pohonan sawit. Padahal daerah ini merupakan resapan air PLTA Koto Panjang. Lantas hal ini tentu mengurangi ketersediaan suplai air waduk dan mempercepat proses sedimentasi pada waduk tersebut.

Beberapa waktu belakangan PLTA Koto Panjang sangat memprihatinkan. Kering sekali. Pokok-pokok kayu berwarna hitam pekat pun bermunculan dari dasar Sungai Kampar. Padahal ketika air normal, pokok-pokok tersebut hanya tampak dibagian ujungnya saja.  Turunnya debit air waduk disebabkan karena minimnya curah hujan. Ia lantas meninggalkan jejak ketinggian air di tepian waduk.

Waduk PLTA Koto Panjang berjarak sekitar 22 km dari Bangkinang atau 87 km dari Pekanbaru. Ia berlokasi di desa Merangin, Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar. Pembangkit di PLTA Koto Panjang terdiri dari 3 unit. Ia memanfaatkan air sungai Kampar dan Batang Mahat.
Tiga turbin di waduk PLTA Koto Panjang berhenti beroperasi sejak 7 Oktober 2016.
Namun tercatat 2 hari sempat dioperasikan 1 turbin.

Makruf Maryadi Siregar, Ketua Harian Forum DAS Provinsi Riau menjelaskan, pada beberapa literatur setingan awal luas hutan di sekitar daerah tangkapan air waduk PLTA Koto Panjang sebesar 3.331 km2. Ia terdiri dari 2.142 km2 (64%) hutan lindung dan 1.189 km2 (34%) hutan konversi. Secara matematis seluruh luas hutan itulah yang dapat menyuplai air untuk menggerakkan 3 turbin di PLTA Koto Panjang.

Lantas faktanya, pada bulan Desember 2015 lalu hutan-hutan tersebut hanya tersisa seluas 886,1 km2. Itu artinya hanya sisa sepertiga luas yang dipersyaratkan. Maka secara matematis pula, hanya 1 turbin yang dapat diputar oleh air yang disuplai dari sisa hutan.

Selain soal hutan, PLTA Koto Panjang pun pernah menjadi saksi bisu dalam sejarah terusirnya masyarakat di perbatasan Riau dan Sumatera Barat.

Secara geografis, desa-desa yang terkena dampak dari pembangunan waduk Koto Panjang ada 10 desa dan harus ditenggelamkan. Delapan di antaranya berada di provinsi Riau, Kabupaten Kampar, Kecamatan XIII Koto Kampar, sedangkan dua lagi berada di propinsi Sumatera Barat. Akibat adanya proses otonomi daerah, delapan desa yang ada di provinsi Riau tersebut mengalami pemekaran sehingga sekarang menjadi tiga belas desa.

Sepuluh desa yang akan ditenggelamkan pun dipindahkan terlebih dahulu ke lokasi baru di sekitar waduk Koto Panjang. Saat itu masyarakat diberi janji akan disediakan rumah semi permanen lengkap dengan fasilitas air bersih. Selain itu ada kebun karet siap panen, masing-masing kepala keluarga dijatah 2 hektar. Ada juga ladang untuk palawija seperempat hektar, listrik, sarana dan prasarana umum lainnya, seperti rumah ibadah, jalan, jembatan, dan jaminan hidup selama dua tahun. Selain masyarakat, satwa-satwa seperti gajah, harimau, tapir, dan satwa yang dilindungi lainnya pun ikut dipindahkan ke tempat perlindungan yang cocok.

Namun yang direncanakan tidaklah mulus sesuai harapan. Tak pula semua masyarakat mendapatkan  bagian yang sama. Kala itu di beberapa desa sangat sulit air bersih, kebun karet belum tersedia, jembatan tidak dibangun dan jalan hanya sebagian beraspal. Sedangkan lahan pertanian tidak subur dan berbatu. Lantas untuk menyambung hidup, sebagian besar masyarakat melakukan pembalakan liar di kawasan resapan air waduk Koto Panjang. Sebagian lagi memilih menjadi buruh kebun di daerah lain. Pembalakan liar pun nyatanya bukan saja dilakukan oleh masyarakat setempat. Pihak luar pun melakukan hal yang sama, bahkan dibiayai oleh cukong-cukong kayu. Kondisi ini sangat mengancam fungsi ekologis, sebab ia diharapkan mampu menjadi pengendali banjir.

Sebenarnya saat proses pembangunan berlangsung, semua yang direncanakan bukan berarti tanpa hambatan. Berbagai aktifis lingkungan, di dalam maupun di luar negeri khususnya Jepang sebagai pemberi pinjaman, berupaya menggagalkan pembangunan PLTA Koto Panjang tersebut. Namun nasib berkata lain.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan waduk PLTA Koto Panjang telah merusak lingkungan. Untuk memutar 3 buah turbin dengan kapasitas 114 MW, ia telah menghilangkan ekosistem hutan hujan tropis daratan  rendah seluas 124km2 atau 12.400 ha. Luasan ini lebih dari seperlima luas negara Singapura.

Saat ini sudah lewat dari pertengahan tahun, ketika mayoritas wilayah Indonesia memasuki puncak musim hujan, di beberapa dearah Riau justru mengalami musim kemarau. Titik api masih bermunculan, tanaman-tanaman kerontang, sungai mengering dan parahnya lagi PLTA Koto Panjang tidak mampu bekerja optimal.

Sebenarnya di Riau hal ini lumrah saja, sebab Riau yang berada di dekat garis khatulistiwa memiliki pola hujan yang berbeda. Pola hujan itu biasa disebut pola ekuatorial. Dalam pola tersebut, hujan dan kemarau akan mengalami dua kali masa puncak dalam waktu setahun.

Namun kali ini, melantainya debit air di waduk PLTA Koto Panjang kontras sekali dari biasanya. Bibir waduk yang sebelumnya bersentuhan langsung dengan kawasan hutan, kini hanya tampak bekas kikisan tanah kuning saja.

Semakin hari dari tahun ke tahun, kondisi PLTA Koto Panjang semakin memprihatinkan. Sejarah dan luka panjang yang dialami pun turut kerontang bersama. Sikut menyikut dan tumpang tindih menjadi hal yang lumrah. Tidak ada yang mau disalahkan atas apa yang telah terjadi.

“Rehabilitasi catchment area pada daerah yang rusak akan segera ditanami kembali, ini upaya yang bisa kita lakukan saat ini,” kata Alamsyah saat ditemui di kantor BPDAS Indragiri Rokan.

Kendati demikian, sebenarnya BPDAS sudah memberikan bibit pohon gratis kepada masyarakat. Hanya saja laju demam sawit jauh lebih kencang. Lantas kondisi DAS Kampar dan daerah tangkapan air di waduk PLTA Koto Panjang semakin kritis, bahkan sudah seminggu mati suri. Hal ini baru pertama terjadi sejak 19 tahun lalu PLTA tersebut berdiri.

Debit air waduk PLTA Koto Panjang menurun drastis selama  musim kemarau.
Tinggi elevasi air waduk menyentuh di bawah batas minimal, 73,5 Mdpl
Tentu saja pemanfaatan sumber daya DAS yang tidak berwawasan lingkungan akan mengakibatkan banjir seperti yang terjadi diawal tahun ini, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, serta krisis air. Ia pun akan berimbas pada penurunan debit waduk PLTA Koto Panjang. Maka pada gilirannya akan menyebabkan penurunan kapasitas produksi PLTA tersebut, seperti pemadaman bergilir.

Selain itu akan akan berdampak buruk pula pada perekonomian, tata kehidupan masyarakat dan terancamnya hutan yang tersisa.

“Satwa pun demikian. Mereka butuh air dan daerah jelajah. Jika air dan hutan sudah tidak ada, maka mereka akan punah dan hanya tinggal nama,” kata Agus Haryanto PWS Specialist di WWF.

Daerah jelajah satwa seperti harimau yang tersisa  adalah Bukit Bungkuk, Rimbang Baling di Riau ataupun kawasan konservasi di Sumatera Barat yang kesemuanya merupakan habitat penting bagi harimau sumatera. Ia merupakan spesies kunci dan harimau terakhir di Indonesia.

Agus pun menjelaskan bahwa perlu adanya kerjasama sebagai langkah strategis dan menyampingkan ego sektoral dari semua pihak. Hal ini sangat penting untuk penyelamatan daerah resapan air di Koto Panjang.

“Kedepannya akan ada pembenahan tata kelola daerah aliran sungai Kampar untuk menyudahi bencana ini,” kata Agus menutup pembicaraan.

Dua hal penting yang harus dilakukan pemerintah dan semua pihak ialah memulihkan kawasan waduk dan daerah aliran sungai. Lalu menertipkan dari sisi penegakan hukum. Tindak tegas aktor di balik pengrusakan kawasan hutan.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Data Nyastra Sarongge

Judul : Sarongge Penulis : Tosca Santoso Penerbit : Dian Rakyat Tahun terbit : September 2012 Tebal buku : 370 halaman Sebuah novel fiksi pertama karya Tosca Santoso. Direktur Utama KBR68H ini sudah 20 tahun lebih menjadi seorang jurnalis. KBR68H kantor berita radio independen terbesar di Indonesia. Melayani berita dan program-program radio berkualitas untuk 900 radio lebih di Indonesia, serta 9 negara di Asia dan Australia terhitung hingga saat ini. Selain itu ia juga   menjadi Direktur Utama Green Radio dan Tempo TV. Sarongge adalah tempat angker yang dihuni roh-roh jahat. Begitu kata sebuah catatan usang penulis Belanda. Sisi lain, warga setempat bercerita kalau Sarongge adalah makhluk jejadian. Berkepala manusia, tetapi berbadan kuda seperti halnya dongeng Yunani, Centaurus. Namun sayang belum ada warga yang pernah bertemu makhluk tersebut. Sehingga tak ada gambaran lebih jelas atau hanya seonggok cerita turunan dari nenek moyang mereka.

Pekasam Ikan Subayang

Oleh: Rahmi Carolina Pekasam ikan merupakan salah satu produk ikan awetan yang diolah secara tradisional. Ia dilakukan dengan metode penggaraman yang dilanjutkan dengan proses fermentasi. Biasanya pekasam menggunakan ikan air tawar dengan rasa sedikit masam ketika sudah jadi. Di Riau sendiri khususnya di Rimbang Baling, Kampar Kiri Hulu olahan masakan ini cukup dikenal. Konon kabarnya, pekasam ikan ini dilakukan agar ikan awet lebih lama, food safety. Ia pun menjadi makanan simpanan jika satu waktu terjadi kesulitan mencari bahan pangan. Sebab dimasa itu belum ditemukan cara pengawetan dengan tekhnologi menggunakan pendingin bersuhu di bawah nol derajat celcius, seperti kulkas. Kamu penasaran? Mari kita coba! Bahan: 1.       1kg ikan Lilan (ikan air tawar dari Subayang) 2.       ½ canting beras 3.       1 bungkus garam kasar 4.       3 helai daun kunyit Cara membuatnya: 1.       Siangi ikan dan cuci bersih. 2.       Sangrai beras hingga berwarna cokla

Melepas Kutukan Melalui Perempuan

Oleh: Rahmi Carolina Tanggal 9 Desember merupakan Hari Anti Korupsi Internasional. Beberapa spanduk tentang peringatannya berdiri rapi di bibir jalan Sudirman. Kabarnya, Riau mejadi tuan rumah dalam momentum tersebut. Mungkin ia terpilih karena kisah kelam dimasa lalunya sebagai daerah rawan korupsi. Di Indonesia, berbicara soal korupsi sudah seperti makanan sehari-hari. Hal itu terbukti dari banyaknya pemberitaan di media yang menyoroti kasus tersebut. Selalu saja ada dan seolah tanpa jeda. Bahkan untuk Riau sendiri saat ini disebut sebagai daerah yang memiliki angka korupsi tertinggi. Lantas disusul oleh daerah Aceh, Sumatera Utara, Papua dan Papua Barat. Tentu saja pencapaian yang diperoleh Riau seolah kutukan untuk marwah melayu. Sumber: Google Sejak KPK berdiri, tercatat sudah 25 orang pejabat di Riau tersangkut kasus korupsi. Tingginya kasus korupsi di Bumi Lancang Kuning tampak dari terjeratnya tiga Gubernur dalam tiga periode berturut-turut. Ketiganya ditahan KP