Langsung ke konten utama

Tujuh Belas Tahun Diasapi, STOP Kebakaran Hutan dan Lahan!

Sore itu sekitar jam 3 sore di jalan Sudirman Pekanbaru. Hanya beberapa sepeda motor berani lalu lalang. Selebihnya mobil. Matahari hampir dua minggu tak menampakkan wujud. Hujan tak pula turun. Kurang lebih dua bulan kabut asap mengepul di langit Pekanbaru. Lain hal di Pelalawan tempat orang tua saya tinggal, sejak tahun baru 2014 lalu hingga pertengahan bulan Maret hujan tak pernah membasahi kabupaten tersebut. Hasilnya, api bermunculan di beberapa titik.

Udara dan air merupakan tanda kehidupan. Manusia tanpa makanan masih bisa bertahan hidup berjam-jam. Namun manusia tanpa udara hanya bisa bertahan hidup beberapa detik. Sebab itulah ketika kabut asap harus dihirup lagi, banyak masyarakat menyumpah dan marah pada para pemimpin negara. Ia hanya hadir saat memungut pajak dan memberantas korupsi. Ia seolah diam ketika kabut asap menyelimuti langit kampung kami. Barangkali rakyatpun lebih peduli dengan penghapusan kabut asap dari pada penghapusan KPK.

Di tahun ini kabut asap datang lebih awal dari biasa. Data World Resources Institute (WRI) memetakan lokasi titik api Riau selama 20 Februari - 12 Maret 2014 dengan bantuan Active Fire Data milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Ia menyatakan kabut asap di Riau kali ini lebih parah dari tahun 2013 yang lalu. Sejak 20 Februari hingga 11 Maret 2014, ditemukan 3.101 titik api di Pulau Sumatera. Jumlah tersebut melebihi periode 13 Juni hingga 30 Juni 2013 lalu sebanyak 2.643 titik api.

Indeks Standar Polutan Udara (ISPU) di Pekanbaru tanggal 9 Maret menyatakan "Berbahaya" dan tak layak hirup. Saat itu udara sudah tak terasa asap lagi, namun abu. Kementerian Lingkungan Hidup memberi rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Riau untuk meningkatkan status bencana asap menjadi darurat nasional. Kabut asap sangat membahayakan kesehatan masyarakat. Tercatat sudah puluhan ribu terserang ISPA.

Sejatinya kabut asap terjadi akibat kebakaran lahan gambut. Data dari Greenpeace menyebutkan Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Riau merupakan produsen terbesar di Indonesia, atau kira-kira seperlima wilayah perkebunan kelapa sawit nasional dan dua perlima ekspor pada tahun 2012, dengan Dumai sebagai pusat perdagangan minyak kelapa sawit internasional seperti Asian Agri, Musim Mas dan Cargill beroperasi di pelabuhan utama kota ini. Lalu Wilmar beroperasi difasilitas pelabuhan mereka sendiri di Dumai-Pelintung. Selain kelapa sawit, Indonesia juga merupakan produsen terbesar pulp dan kertas, seperti dua produsen terbesar dunia Asia Pulp and Paper (APP) dan APRIL berpusat di Provinsi Riau.

Kasus kebakaran hutan lahan dan kabut asap di Riau menjadi rutinitas tiap tahun. Mahalnya biaya buka lahan dan pembersihan lahan gambut menjadikan pembakaran hutan relatif lebih ekonomis dan menjadi alternatif yang dipilih perusahaan pemilik lahan gambut di Riau. Badan Pusat Statistik (BPS) Riau mencatat, jumlah lahan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2012 mencapai 2.372.402 hektare atau seperempat dari luas wilayah Riau. Jumlah tersebut mungkin telah bertambah pada 2014. Sedangkan lahan gambut di Riau mencapai 5 juta hektare dan merupakan lahan gambut terluas di Sumatera. Izin pengelolaan lahan gambut saat ini dipegang oleh perusahaan-perusahaan swasta.

Satuan tugas penganan kebakaran berjibaku memadamkan api dan menghilangkan asap di lokasi kejadian. Namun hal tersebut tentu tak semudah yang dibayangkan, sebab kejadian yang merata terjadi hampir disemua kabupaten dan kota di Riau. Sebagian kebakaran hutan dan lahan pun terjadi berulang pada lokasi-lokasi yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, termasuk di kawasan gambut yang sangat susah dipadamkan.

Lahan gambut sebenarnya tidak mudah terbakar. Ia punya sifat yang menyerupai spons, menyerap dan menahan air secara maksimal. Sehingga pada musim kemarau dan hujan tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrim. Namun kondisi lahan gambut mulai terganggu akibat adanya konversi lahan atau pembuatan kanal, sehingga gambutpun kering. Maka keseimbangan ekologis jadi terganggu.

Pada musim kemarau lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan. Sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan susah dideteksi. Alhasil ia menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga berlangsung lama dan baru bisa benar-benar padam setelah curah hujan intensif.

Sejak saya TK hingga kuliah saat ini, kerja keras pemerintah belum berbuah manis dalam hal penanggulangan kabut asap. Lebih kurang sudah tujuh belas tahun Riau diasapi. Bahkan tahun ini datang berkali-kali. Namun di September ia tak bertahan lama. Hanya empat hari, sebab hujan turun sangat deras dan lama di hari ke lima.  Meski tak separah bulan Maret namun sangat mengganggu dan merugikan berbagai pihak. 


Kartun oleh: Toni Malakian


Maret lalu sekolah-sekolah dan Universitas diliburkan. Penerbangan juga ditutup. Kami harus menggunakan masker, bukan hanya saat di luar rumah, di dalam bahkan saat tidur pun kami terpaksa menggunakannya. Menutup seluruh lubang angin agar asap tak masuk lagi. Lalu bikin Air Purifier sederhana menggunakan baskom dan kain basah. Saya tak bisa membayangkan nasib gerenasi selanjutnya. Harusnya pemimpin negara bertanggung jawab atas bencana yang menimpa kampung kami. 

Dua periode Presiden Susilo Bambang Yudoyono menjabat, tak juga jelas ujung permasalahan kabut asap ini. Saya tidak peduli ocehan negara tetangga. Saya berharap kepada Presiden terpilih Joko Widodo nantinya memberi solusi untuk penanganan bencana kabut asap di Provinsi Riau dan Provinsi lainnya. Pemimpin negara harus tegas. Tegas terhadap perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Beri solusi bagi petani-petani kecil agar tak membakar lahan. Jika memang  bapak Jokowi hobi blusukan, blusukanlah ke kampung kami. Lihat kondisi sebenarnya dan tuntaskan masalah asap sampai ke akar-akarnya, sebab setiap warga negara berhak menghirup udara yang  bersih!





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Data Nyastra Sarongge

Judul : Sarongge Penulis : Tosca Santoso Penerbit : Dian Rakyat Tahun terbit : September 2012 Tebal buku : 370 halaman Sebuah novel fiksi pertama karya Tosca Santoso. Direktur Utama KBR68H ini sudah 20 tahun lebih menjadi seorang jurnalis. KBR68H kantor berita radio independen terbesar di Indonesia. Melayani berita dan program-program radio berkualitas untuk 900 radio lebih di Indonesia, serta 9 negara di Asia dan Australia terhitung hingga saat ini. Selain itu ia juga   menjadi Direktur Utama Green Radio dan Tempo TV. Sarongge adalah tempat angker yang dihuni roh-roh jahat. Begitu kata sebuah catatan usang penulis Belanda. Sisi lain, warga setempat bercerita kalau Sarongge adalah makhluk jejadian. Berkepala manusia, tetapi berbadan kuda seperti halnya dongeng Yunani, Centaurus. Namun sayang belum ada warga yang pernah bertemu makhluk tersebut. Sehingga tak ada gambaran lebih jelas atau hanya seonggok cerita turunan dari nenek moyang mereka.

Pekasam Ikan Subayang

Oleh: Rahmi Carolina Pekasam ikan merupakan salah satu produk ikan awetan yang diolah secara tradisional. Ia dilakukan dengan metode penggaraman yang dilanjutkan dengan proses fermentasi. Biasanya pekasam menggunakan ikan air tawar dengan rasa sedikit masam ketika sudah jadi. Di Riau sendiri khususnya di Rimbang Baling, Kampar Kiri Hulu olahan masakan ini cukup dikenal. Konon kabarnya, pekasam ikan ini dilakukan agar ikan awet lebih lama, food safety. Ia pun menjadi makanan simpanan jika satu waktu terjadi kesulitan mencari bahan pangan. Sebab dimasa itu belum ditemukan cara pengawetan dengan tekhnologi menggunakan pendingin bersuhu di bawah nol derajat celcius, seperti kulkas. Kamu penasaran? Mari kita coba! Bahan: 1.       1kg ikan Lilan (ikan air tawar dari Subayang) 2.       ½ canting beras 3.       1 bungkus garam kasar 4.       3 helai daun kunyit Cara membuatnya: 1.       Siangi ikan dan cuci bersih. 2.       Sangrai beras hingga berwarna cokla

Melepas Kutukan Melalui Perempuan

Oleh: Rahmi Carolina Tanggal 9 Desember merupakan Hari Anti Korupsi Internasional. Beberapa spanduk tentang peringatannya berdiri rapi di bibir jalan Sudirman. Kabarnya, Riau mejadi tuan rumah dalam momentum tersebut. Mungkin ia terpilih karena kisah kelam dimasa lalunya sebagai daerah rawan korupsi. Di Indonesia, berbicara soal korupsi sudah seperti makanan sehari-hari. Hal itu terbukti dari banyaknya pemberitaan di media yang menyoroti kasus tersebut. Selalu saja ada dan seolah tanpa jeda. Bahkan untuk Riau sendiri saat ini disebut sebagai daerah yang memiliki angka korupsi tertinggi. Lantas disusul oleh daerah Aceh, Sumatera Utara, Papua dan Papua Barat. Tentu saja pencapaian yang diperoleh Riau seolah kutukan untuk marwah melayu. Sumber: Google Sejak KPK berdiri, tercatat sudah 25 orang pejabat di Riau tersangkut kasus korupsi. Tingginya kasus korupsi di Bumi Lancang Kuning tampak dari terjeratnya tiga Gubernur dalam tiga periode berturut-turut. Ketiganya ditahan KP