Sore itu sekitar
jam 3 sore di jalan Sudirman Pekanbaru. Hanya beberapa sepeda motor berani lalu
lalang. Selebihnya mobil. Matahari hampir dua minggu tak menampakkan wujud.
Hujan tak pula turun. Kurang lebih dua bulan kabut asap mengepul di langit
Pekanbaru. Lain hal di Pelalawan tempat orang tua saya tinggal, sejak tahun
baru 2014 lalu hingga pertengahan
bulan Maret hujan tak pernah membasahi kabupaten tersebut. Hasilnya, api
bermunculan di beberapa titik.
Udara dan air merupakan tanda kehidupan. Manusia tanpa
makanan masih bisa bertahan hidup berjam-jam. Namun manusia tanpa udara hanya
bisa bertahan hidup beberapa detik. Sebab itulah ketika kabut asap harus
dihirup lagi, banyak masyarakat menyumpah dan marah pada para pemimpin negara. Ia
hanya hadir saat memungut pajak dan memberantas korupsi. Ia seolah diam ketika
kabut asap menyelimuti langit kampung kami. Barangkali rakyatpun lebih peduli
dengan penghapusan kabut asap dari pada penghapusan KPK.
Di tahun ini kabut
asap datang lebih awal dari biasa. Data
World Resources Institute (WRI) memetakan lokasi titik api Riau selama 20
Februari - 12 Maret 2014 dengan bantuan Active Fire Data milik Badan
Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Ia menyatakan kabut asap di
Riau kali ini lebih parah dari tahun 2013 yang lalu. Sejak 20 Februari hingga
11 Maret 2014, ditemukan 3.101 titik api di Pulau Sumatera. Jumlah tersebut
melebihi periode 13 Juni hingga 30 Juni 2013 lalu sebanyak 2.643 titik api.
Kementerian
Lingkungan Hidup memberi rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi Riau untuk
meningkatkan status bencana asap menjadi darurat nasional. Kabut asap sangat
membahayakan kesehatan masyarakat. Tercatat sudah puluhan ribu terserang ISPA.
Sejatinya kabut
asap terjadi akibat kebakaran lahan gambut. Data
dari Greenpeace menyebutkan Indonesia
adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Riau merupakan produsen
terbesar di Indonesia, atau kira-kira seperlima wilayah perkebunan kelapa sawit
nasional dan dua perlima ekspor pada tahun 2012, dengan Dumai sebagai pusat
perdagangan minyak kelapa sawit internasional seperti Asian Agri, Musim Mas dan
Cargill beroperasi di pelabuhan utama
kota ini. Lalu Wilmar beroperasi
difasilitas pelabuhan mereka sendiri di Dumai-Pelintung. Selain kelapa sawit,
Indonesia juga merupakan produsen terbesar pulp
dan kertas, seperti dua produsen terbesar dunia Asia Pulp and Paper (APP) dan APRIL
berpusat di Provinsi Riau.
Kasus kebakaran hutan lahan dan kabut asap di Riau menjadi
rutinitas tiap tahun. Mahalnya biaya buka lahan dan pembersihan lahan gambut
menjadikan pembakaran hutan relatif lebih ekonomis dan menjadi alternatif yang
dipilih perusahaan pemilik lahan gambut di Riau. Badan Pusat Statistik (BPS)
Riau mencatat, jumlah lahan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2012 mencapai
2.372.402 hektare atau seperempat dari luas wilayah Riau. Jumlah tersebut
mungkin telah bertambah pada 2014. Sedangkan lahan gambut di Riau mencapai 5 juta hektare dan merupakan lahan gambut terluas di Sumatera. Izin pengelolaan lahan gambut saat ini dipegang
oleh perusahaan-perusahaan swasta.
Satuan tugas penganan kebakaran berjibaku memadamkan api dan
menghilangkan asap di lokasi kejadian. Namun hal tersebut tentu tak semudah
yang dibayangkan, sebab kejadian yang merata terjadi hampir disemua kabupaten
dan kota di Riau. Sebagian kebakaran hutan dan lahan pun terjadi berulang pada
lokasi-lokasi yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, termasuk di kawasan
gambut yang sangat susah dipadamkan.
Lahan gambut sebenarnya tidak mudah terbakar. Ia punya sifat
yang menyerupai spons, menyerap dan menahan air secara maksimal. Sehingga pada
musim kemarau dan hujan tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrim. Namun kondisi
lahan gambut mulai terganggu akibat adanya konversi lahan atau pembuatan kanal, sehingga gambutpun
kering. Maka
keseimbangan ekologis jadi terganggu.
Pada musim kemarau lahan gambut akan sangat kering sampai
kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut mengandung bahan bakar (sisa
tumbuhan) sampai di bawah permukaan. Sehingga api di lahan gambut menjalar di
bawah permukaan tanah secara lambat dan susah dideteksi. Alhasil ia menimbulkan
asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga berlangsung lama dan
baru bisa benar-benar padam setelah curah hujan intensif.
Sejak saya TK hingga kuliah saat ini, kerja keras pemerintah
belum berbuah manis dalam hal penanggulangan kabut asap. Lebih kurang sudah
tujuh belas tahun Riau diasapi. Bahkan tahun ini datang berkali-kali. Namun di
September ia tak bertahan lama. Hanya empat hari, sebab hujan turun sangat
deras dan lama di hari ke lima. Meski
tak separah bulan Maret namun sangat mengganggu dan merugikan berbagai pihak.
Kartun oleh: Toni Malakian |
Maret lalu sekolah-sekolah dan Universitas diliburkan.
Penerbangan juga ditutup. Kami harus menggunakan masker, bukan hanya saat di
luar rumah, di dalam bahkan saat tidur pun kami terpaksa menggunakannya.
Menutup seluruh lubang angin Saya tak bisa membayangkan nasib gerenasi
selanjutnya. Harusnya
pemimpin negara bertanggung jawab atas bencana
yang menimpa kampung kami.
Dua periode Presiden Susilo Bambang Yudoyono menjabat,
tak juga jelas ujung permasalahan kabut asap ini. Saya tidak peduli ocehan negara tetangga. Saya berharap kepada Presiden
terpilih Joko Widodo nantinya memberi solusi untuk penanganan bencana kabut
asap di Provinsi Riau dan Provinsi lainnya. Pemimpin negara harus tegas. Tegas terhadap
perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Beri solusi bagi petani-petani kecil
agar tak membakar lahan. Jika memang bapak Jokowi hobi blusukan, blusukanlah ke kampung
kami. Lihat kondisi sebenarnya dan tuntaskan masalah asap sampai ke
akar-akarnya, sebab setiap
warga negara berhak menghirup udara yang
bersih!
Komentar
Posting Komentar